Dua dekade sudah damai Helsinki berjalan. Dua dekade pula rakyat Aceh menaruh harapan bahwa konflik bersenjata akan berganti menjadi perlawanan intelektual dan politik yang bermartabat. Tapi, apa yang kita lihat hari ini?
Otonomi Khusus Aceh bukan lagi alat perjuangan. Ia telah berubah menjadi alat transaksi, komoditas politik, dan ladang bancakan elite lokal.
Di tengah situasi itu, muncul pertanyaan yang makin keras digaungkan di warung kopi, di meunasah, di grup-grup WhatsApp masyarakat bawah:
“Kalau begini terus, apa Aceh harus merdeka lagi atau rombak total sistemnya?”
Opsi Pertama: Rombak Total Sistem Pemerintahan Aceh
Pilihan pertama adalah reformasi total pemerintahan Aceh, tanpa harus memisahkan diri dari NKRI.
Artinya:
- Otsus diperkuat dan diawasi langsung oleh rakyat, bukan sekadar oleh elit partai lokal.
- Membentuk lembaga pengawas independen berbasis ulama, akademisi, dan perwakilan masyarakat adat untuk mengawal penggunaan Dana Otsus dan pelaksanaan syariat.
- Membongkar tuntas sistem oligarki lokal yang menguasai proyek-proyek strategis daerah.
- Mengembalikan kewenangan adat dan dayah dalam keputusan-keputusan strategis Aceh.
- Menyusun kembali Qanun-Qanun baru yang berpihak pada rakyat miskin, petani, nelayan, dan korban konflik.
Jika ini dijalankan serius, Aceh bisa kembali bermartabat tanpa perlu angkat senjata lagi. Tapi… akankah para elite rela melepaskan kursi nyaman mereka? Di sinilah keraguan itu muncul.
Opsi Kedua: Aceh Merdeka Lagi
Opsi ini mulai lantang dibicarakan di banyak sudut Aceh sejak 2022.
Alasannya sederhana:
“Untuk apa bertahan dalam NKRI jika janji damai tak ditepati, kekhususan diabaikan, dan Dana Otsus terancam dicabut di 2027?”
Beberapa kalangan, termasuk eks kombatan dan aktivis muda Aceh, mulai menyusun skenario:
- Melakukan plebisit rakyat (referendum kecil) untuk menakar keinginan masyarakat atas status Aceh.
- Menghidupkan kembali jaringan diplomasi internasional yang dulu pernah berjalan di Jenewa, Stockholm, dan Kuala Lumpur.
- Menggalang kekuatan sosial-politik sipil sebagai basis perlawanan damai.
- Membangun ulang narasi Aceh Merdeka berbasis hak penentuan nasib sendiri, sesuai amanat konstitusi PBB tentang hak-hak bangsa terjajah.
Tentu saja opsi ini berisiko tinggi. Tidak mudah. Dan pasti ditolak pusat. Tapi sejarah telah membuktikan, Aceh adalah bangsa yang tidak pernah diam saat ditindas.
Realitas Politik: Mana yang Lebih Mungkin?
Fakta hari ini, rakyat kecil Aceh tidak percaya lagi kepada partai lokal, pemerintah Aceh, dan elite eks kombatan.
Kepercayaan itu hancur.
Karena itu, opsi reformasi total hanya akan berjalan jika dipimpin oleh kekuatan rakyat sipil: ulama, pemuda kampus, dayah, dan komunitas adat.
Jika tidak, maka opsi Aceh Merdeka Lagi akan terus hidup dalam hati rakyat — dan cepat atau lambat bisa meledak kembali.
Sejarah Aceh sudah membuktikan:
- 1873: Melawan kolonial Belanda
- 1945: Bergabung dengan Indonesia tanpa dijajah
- 1976: GAM lahir karena ketidakadilan
- 2005: Damai setelah ribuan syahid berjatuhan
- 2025: Rakyat mulai resah lagi karena Otsus gagal mensejahterakan
Artinya, opsi ketiga tak pernah ada. Hanya ada dua pilihan: rombak total atau merdeka.
Kesimpulan Keras
Di 2025 ini, Aceh di persimpangan jalan.
Damai tanpa keadilan hanya penundaan perang.
Jika elite terus khianat, jika Dana Otsus kembali dikorupsi, dan jika rakyat terus dibodohi dengan janji-janji politik busuk, maka jangan salahkan siapa-siapa bila rakyat memilih jalannya sendiri.
Dan Aceh selalu punya jalan. Karena Aceh adalah bangsa pejuang.
Sejarah takkan diam.