Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Pendidikan Adat dan Budaya yang Mulai Pudar di Dalam Keluarga dan Masyarakat Aceh: Sebuah Catatan untuk Generasi

Sabtu, 03 Mei 2025 | 11:43 WIB Last Updated 2025-05-03T04:45:51Z


 

Aceh pernah dikenal sebagai negeri yang teguh memegang adat, sopan santun, serta nilai-nilai budaya yang selaras dengan syariat Islam. Sebuah tanah yang menjadikan adat bak poteumeureuhom, hukom bak syiah Kuala, qanun bak putroe phang, reusam bak laki-laki sebagai pedoman kehidupan.

Namun, kini kita hidup di era yang berbeda. Generasi muda Aceh perlahan menjauh dari akar budaya dan adatnya. Banyak nilai, aturan, petuah, dan falsafah lama yang dulu dijaga rapat, mulai dilupakan. Rumah-rumah Aceh yang dulu menjadi benteng pendidikan adat di dalam keluarga, kini lebih sibuk dengan gawai dan televisi.

Adat yang Mulai Asing di Telinga Anak Muda

Hari ini, coba tanyakan kepada sebagian anak muda Aceh:

  • Apa makna peusijuek?
  • Apa filosofi di balik tradisi meulangga?
  • Mengapa anak perempuan Aceh dahulu diajarkan seni menjahit, memasak, dan menari seudati?
  • Apa saja resam adat dalam pernikahan, kematian, hingga musyawarah kampung?

Sebagian besar mungkin akan terdiam. Adat yang dulunya menjadi identitas kini mulai asing di telinga generasi. Padahal, nilai-nilai itu bukan sekadar tradisi tanpa makna, tapi punya filosofi mendalam tentang tata krama, tanggung jawab sosial, serta keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam.

Peran Keluarga yang Melemah

Dahulu, pendidikan adat dan budaya dimulai dari rumah. Seorang anak laki-laki Aceh diajarkan keberanian, kejujuran, dan kepemimpinan. Anak perempuan dibina tentang kesantunan, ketegasan, dan kepandaian merawat diri serta lingkungan.

Kakek-nenek menjadi guru kehidupan yang menuturkan kisah pahlawan Aceh, hikayat, hingga pantun adat. Tapi hari ini, waktu kumpul keluarga makin sempit. Gawai mengambil alih cerita-cerita malam. Nilai adat pelan-pelan hilang dari ruang-ruang rumah.

Masyarakat yang Mulai Abai

Selain keluarga, masyarakat Aceh dahulu memiliki sistem adat yang kuat. Ada teungku meunasah, imeum mukim, keuchik, dan tuha peut yang menjaga adat di kampung. Tradisi gotong royong, peusijuek sebelum bepergian jauh, adat musyawarah, dan larangan-larangan adat berjalan harmonis.

Namun hari ini, adat seolah dipinggirkan oleh euforia modernitas. Banyak kampung yang mulai mengabaikan musyawarah adat, menggantinya dengan aturan formal semata. Tarian tradisional lebih sering dipamerkan di event wisata daripada diwariskan ke anak muda di kampung.

Dampaknya: Identitas Generasi Aceh Terancam

Ketika adat dan budaya mulai pudar, yang hilang bukan hanya ritual atau tradisi — tapi jati diri. Generasi Aceh berpotensi menjadi masyarakat yang asing di tanahnya sendiri. Tidak mengenal sejarahnya, tidak peduli dengan nilai leluhurnya, bahkan merasa adat Aceh itu kuno dan tak relevan.

Jika ini dibiarkan, Aceh bisa menjadi daerah tanpa karakter kuat. Mudah diombang-ambingkan arus globalisasi, kehilangan keberanian untuk membela nilai-nilai luhur, dan perlahan kehilangan kekhasan yang membuat Aceh disegani.

Solusi: Menghidupkan Kembali Pendidikan Adat dari Rumah dan Kampung

  1. Orang Tua Kembali Menjadi Guru Adat di Rumah
    Mulailah dari hal-hal kecil: ajarkan anak tentang salam Aceh, adat masuk rumah, sopan santun kepada orang tua, pantun, dan hikayat. Kenalkan tradisi peusijuek, adat nikah, dan larangan adat dengan cara yang ringan tapi bermakna.

  2. Meunasah dan Dayah sebagai Pusat Pendidikan Adat
    Aktifkan kembali fungsi meunasah bukan hanya untuk salat, tapi juga ruang diskusi adat, pelatihan tarian, pidato adat, dan seni Aceh. Dayah harus mengambil peran menjaga adat yang selaras syariat.

  3. Pemerintah Gampong Harus Tegas Menjaga Resam Adat
    Keuchik dan aparatur kampung wajib menghidupkan musyawarah adat, larangan-larangan sosial, serta tradisi gotong royong. Jangan biarkan adat ditinggalkan atas nama modernitas.

  4. Sekolah dan Kampus Aceh Harus Masukkan Pendidikan Budaya Lokal
    Pelajaran muatan lokal budaya Aceh jangan hanya sekadar formalitas. Harus menyentuh filosofi, praktik adat, hingga sejarah perlawanan rakyat Aceh.

Penutup

Adat dan budaya bukan sekadar warisan masa lalu, tapi bekal menghadapi masa depan. Ia adalah identitas yang membedakan siapa kita di tengah dunia yang seragam. Jika adat Aceh terus dibiarkan pudar, maka generasi kita akan kehilangan akar.

Sudah saatnya orang tua, tokoh kampung, ulama, dan pemerintah sadar: Pendidikan adat Aceh harus kembali hidup di rumah dan kampung sebelum semuanya benar-benar hilang.

Sebab Aceh yang besar, bukan hanya karena sejarahnya — tapi karena adat dan budayanya yang dijaga dengan cinta oleh generasi penerus.