Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Perubahan Penerapan Hukum Menurut Qanun Meukuta Alam dalam Masyarakat Aceh di Era Digital

Minggu, 11 Mei 2025 | 16:35 WIB Last Updated 2025-05-11T09:37:15Z




Oleh: Azhari 

Sejarah hukum di Aceh tidak bisa dipisahkan dari warisan hukum adat dan syariat Islam yang telah berjalan berabad-abad. Salah satu tonggak pentingnya adalah Qanun Meukuta Alam, sebuah perangkat hukum yang dahulu menjadi pedoman dalam tata pemerintahan, pergaulan sosial, hingga penyelesaian sengketa dalam Kesultanan Aceh Darussalam.

Di era modern ini — khususnya di zaman digital yang serba cepat dan terbuka — penerapan nilai-nilai Qanun Meukuta Alam menghadapi tantangan sekaligus peluang besar. Perkembangan teknologi informasi dan media sosial telah mengubah pola komunikasi, perilaku sosial, hingga potret pelanggaran hukum yang jauh berbeda dibandingkan masa lalu. Pertanyaannya: sejauh mana prinsip-prinsip Qanun Meukuta Alam masih relevan dan bagaimana transformasinya di era digital?


Qanun Meukuta Alam: Pilar Hukum Adat dan Syariat di Masa Lalu

Secara historis, Qanun Meukuta Alam merupakan kumpulan aturan adat dan syariat yang diberlakukan dalam Kesultanan Aceh untuk menjaga ketertiban, keamanan, moral, dan hubungan antarwarga. Hukum ini mengatur berbagai aspek, mulai dari larangan zina, pembunuhan, pencurian, fitnah, hingga tata cara muamalah dan adab bermasyarakat.

Sistem peradilan berbasis Qanun Meukuta Alam dijalankan secara tegas namun berasaskan musyawarah, dengan peran utama Imum Mukim, Tengku Syik, dan Sultan sebagai pemutus akhir perkara. Hukum adat dan syariat ini menyatu dengan struktur sosial Aceh, menjaga kehormatan kampung dan martabat masyarakat.


Era Digital: Masyarakat Aceh di Simpang Jalan

Kini, Aceh hidup dalam era digital di mana interaksi sosial meluas tak hanya di meunasah dan balai pengajian, tapi juga di ruang maya: Facebook, Instagram, TikTok, hingga grup WhatsApp. Di sinilah tantangan muncul — pelanggaran moral, hoaks, fitnah, hingga penghinaan adat kerap terjadi di media sosial, sesuatu yang tak pernah dihadapi para penguasa Aceh masa lampau.

Sayangnya, produk hukum Aceh saat ini, meski memiliki qanun syariat, masih belum sepenuhnya mampu mengejar dinamika digital ini. Banyak kasus pelanggaran etika, penghinaan martabat orang tua, pelecehan perempuan, atau kampanye kebencian yang dilakukan warga Aceh di media sosial, sulit dijerat karena celah hukum dan keterbatasan perangkat pengawasan digital berbasis lokal.


Transformasi Nilai Qanun Meukuta Alam di Era Digital

Yang perlu dipahami, ruh Qanun Meukuta Alam bukanlah sekadar teks hukum, melainkan nilai-nilai moral dan kearifan adat yang bertujuan menjaga kehormatan umat dan ketertiban masyarakat. Nilai-nilai ini masih sangat relevan untuk diadopsi ke dalam regulasi era digital.

Misalnya:

  • Larangan menyebarkan fitnah dan hoaks, dalam Qanun Meukuta Alam dianggap pelanggaran berat yang bisa menyebabkan rusaknya persaudaraan gampong. Kini, di media sosial, fitnah dan hoaks jauh lebih cepat menyebar dan dampaknya lebih luas. Seharusnya, hukum adat dan qanun digital bisa menjerat perilaku ini.

  • Adab berinteraksi antar sesama, yang dulu diatur dalam qanun adat, kini harus diterjemahkan ke dalam etika bermedia sosial. Misal soal batasan ucapan, sopan santun, dan larangan menyebar aib.

  • Penghinaan martabat perempuan, yang dulu diancam hukum adat berat, kini kerap terjadi di TikTok atau Instagram. Seharusnya ada produk qanun yang berpijak pada nilai Qanun Meukuta Alam untuk melindungi perempuan Aceh di ruang digital.


Peluang Penguatan Qanun Digital Aceh

Aceh punya keistimewaan dalam bidang syariat Islam dan adat. Artinya, Aceh memiliki peluang menyusun Qanun Etika Digital Islami Aceh, yang mengadaptasi nilai-nilai Qanun Meukuta Alam ke dalam format regulasi era digital. Beberapa substansi yang bisa diatur:

  1. Etika bermedia sosial berbasis syariat dan adat Aceh
  2. Sanksi adat digital, seperti pemboikotan akun, peringatan adat online, atau pemberian status sosial pelanggar adat di komunitas maya.
  3. Penguatan peran mukim dan imum gampong dalam mengawasi perilaku digital warga gampong
  4. Restorative justice berbasis adat digital, menyelesaikan pelanggaran online dengan musyawarah adat virtual.

Refleksi: Jangan Biarkan Nilai Qanun Meukuta Alam Hanya Jadi Sejarah

Sayangnya, sebagian masyarakat Aceh hari ini lebih mengenal algoritma Instagram daripada hukum adatnya sendiri. Generasi muda banyak yang tak pernah mendengar istilah Qanun Meukuta Alam, apalagi paham isinya. Padahal, nilai-nilai itu bisa menjadi benteng moral paling kuat di era banjir informasi dan budaya liberal digital saat ini.

Jika Aceh ingin tetap bermartabat di era digital, maka mewariskan nilai-nilai Qanun Meukuta Alam dalam bentuk yang kontekstual dan aplikatif adalah keharusan, bukan pilihan.


Dengan demikian Aceh memiliki warisan hukum adat yang luar biasa dalam Qanun Meukuta Alam. Di era digital, ruh nilai-nilai tersebut harus dihidupkan kembali, diterjemahkan ke dalam regulasi digital berbasis syariat dan adat Aceh, serta disosialisasikan kepada generasi muda.

Tanpa itu, Aceh akan kehilangan identitasnya, larut dalam budaya digital tanpa batas yang bisa merusak moral, adat, dan kehormatan kolektif bangsa Aceh. Perubahan penerapan hukum bukan berarti meninggalkan nilai lama, tapi bagaimana mengemasnya menjadi pedoman hidup yang relevan di zaman yang terus berubah.

Aceh tidak boleh kehilangan Qanun Meukuta Alam-nya. Jika tidak, kita hanya akan menjadi penonton di negeri sendiri.

Wallahu a’lam.