Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Dikejar Sayang, Ditendang Petaka dalam Keluarga

Minggu, 11 Mei 2025 | 17:12 WIB Last Updated 2025-05-11T10:12:59Z






Keluarga adalah ruang paling sakral dalam kehidupan manusia. Ia bukan sekadar institusi sosial, tapi fondasi lahirnya cinta, kasih sayang, dan nilai-nilai luhur. Di sana anak belajar arti pelukan, pasangan memahami makna pengorbanan, dan orang tua menabur keteladanan. Namun, tidak semua keluarga seindah narasi buku pelajaran atau sinetron religi. Ada kalanya keluarga justru menjadi ladang luka. Ketika yang dikejar sayang, malah ditendang jadi petaka.

Ketika Rasa Sayang Menjadi Racun

Kita sering mendengar orang tua berkata, “Aku keras karena sayang. Aku larang karena cinta. Aku marah karena peduli.” Tapi benarkah cara seperti itu selalu membuahkan hasil baik? Di banyak kasus, kasih sayang yang salah arah justru menjadi racun dalam relasi keluarga. Bentuknya bisa berupa kekerasan verbal, kontrol berlebihan, hingga pemaksaan kehendak dengan alasan cinta.

Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan seperti ini kerap menjadi pribadi takut mengambil keputusan, merasa serba salah, dan kehilangan kepercayaan diri. Kasih sayang yang seharusnya menjadi sandaran justru berubah menjadi kungkungan.

Begitu juga dalam relasi suami istri. Tidak sedikit pasangan yang awalnya mengejar cinta, mengumbar janji setia di pelaminan, tapi berubah menjadi petaka setelah menikah. Cinta yang dulu manis, perlahan hambar karena kecemburuan berlebihan, sikap posesif, dan ekspektasi tak masuk akal. Semua dibalut dalih “karena aku terlalu sayang padamu.”

Sayangnya, masyarakat kita masih memaklumi pola relasi beracun ini. Kekerasan fisik, verbal, bahkan finansial di dalam rumah tangga sering dianggap urusan privat, bukan masalah sosial. Padahal dari sinilah lahir generasi-generasi penuh luka, trauma, dan dendam sosial.

Budaya Toxic dalam Keluarga: Warisan Tak Tertulis

Tak bisa dipungkiri, banyak keluarga di negeri ini masih mewarisi budaya patriarkal dan otoritarian. Anak tidak boleh membantah orang tua, istri harus selalu patuh kepada suami, semua keputusan ditentukan oleh kepala keluarga. Meski zaman telah berubah, pola pikir semacam ini masih kuat bercokol.

Ironisnya, banyak orang tua atau pasangan tidak menyadari bahwa sikap keras, larangan berlebihan, atau kontrol ketat atas hidup anggota keluarga bukanlah bentuk cinta, melainkan ketakutan kehilangan kontrol. Mereka lupa bahwa cinta yang sehat harus berbasis kepercayaan, bukan ketakutan. Sayangnya, dengan alasan sayang, banyak yang tanpa sadar menebar luka.

Tak jarang anak perempuan dilarang sekolah tinggi karena takut jadi terlalu bebas. Anak laki-laki dipaksa meneruskan usaha orang tua, meski itu bukan passion-nya. Istri diminta berhenti bekerja, bukan karena keinginan bersama, tapi karena suami takut istrinya lebih sukses. Semua itu dibungkus dalih “demi kebaikan keluarga.” Padahal, kebaikan macam apa yang lahir dari pemaksaan dan ketidakadilan?

Petaka yang Tak Terlihat

Petaka dalam keluarga tidak selalu hadir dalam bentuk kekerasan fisik. Lebih sering ia datang diam-diam dalam bentuk luka batin. Anak-anak yang tumbuh dalam suasana penuh tekanan akan merasa hidupnya tidak berarti. Mereka mungkin terlihat baik-baik saja di luar, tapi di dalam menyimpan luka yang sulit sembuh.

Begitu pula pasangan suami istri. Banyak rumah tangga tampak harmonis di depan publik, tapi sesungguhnya hanya sekadar formalitas. Di balik pintu rumah, banyak istri merasa terpenjara, suami merasa tertekan, dan anak-anak tumbuh tanpa kasih sayang yang tulus.

Petaka ini tidak hanya merusak individu, tapi bisa menjalar menjadi masalah sosial. Anak yang terbiasa dimaki akan belajar memaki. Pasangan yang diperlakukan kasar akan menormalisasi kekerasan. Dan masyarakat akan terus mewarisi siklus luka yang tak pernah selesai.

Membangun Budaya Sayang yang Sehat

Sudah saatnya kita belajar membedakan antara cinta yang menyembuhkan dan cinta yang melukai. Sayang bukan berarti mengontrol hidup orang lain. Peduli bukan berarti memaksakan kehendak. Cinta yang sehat justru memberi ruang bagi masing-masing anggota keluarga untuk bertumbuh sesuai potensi dan pilihannya.

Orang tua perlu belajar menjadi teman bagi anak, bukan sekadar pemberi perintah. Pasangan harus belajar menjadi mitra, bukan pemilik. Karena cinta sejati tidak pernah mengekang, tapi memerdekakan. Jangan biarkan sayang yang kita kejar justru menjadi petaka bagi orang-orang yang kita cintai.

Penutup: Jangan Lagi Dikejar Sayang, Ditendang Petaka

Keluarga ideal bukan berarti tanpa konflik, tapi bagaimana konflik itu diselesaikan dengan adil dan saling menghargai. Jangan jadikan alasan “karena sayang” untuk menyakiti, mengatur berlebihan, atau membatasi mimpi anggota keluarga.

Mari refleksi ulang, berapa banyak luka dalam rumah kita yang kita buat atas nama cinta? Berapa banyak harapan yang kita matikan dengan dalih “demi kebaikan”? Sudah saatnya kita memperbaiki cara mencinta dalam keluarga, agar sayang tak lagi menjadi petaka.

Karena keluarga seharusnya menjadi tempat paling aman, bukan ladang luka. Bukan tempat dikejar sayang, tapi ditendang petaka.



Azhari 
Pemerhati Keluarga & Sosial Budaya