Oleh: Azhari
Dua puluh tahun sudah MoU Helsinki diteken, Otonomi Khusus (Otsus) Aceh dijalankan, dan Ikrar Lamteh disuarakan sebagai janji moral dan politik para pimpinan Aceh untuk menjaga martabat perjuangan rakyat. Tapi hari ini, di tahun 2025, kita dipaksa bertanya: apa arti semua itu kini?
Apakah Otsus benar-benar jadi alat pemberdayaan Aceh? Ataukah cuma jadi bancakan elit?
Masihkah Ikrar Lamteh hidup di dada para pemimpin? Atau sudah jadi lembar usang yang dilupakan demi jabatan dan proyek?
Aceh dan Otonomi Khusus: Hak Istimewa yang Dipreteli
Aceh diberi status Otonomi Khusus lewat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), sebagai hasil tindak lanjut MoU Helsinki. Konon katanya, ini bentuk pengakuan negara atas kekhususan Aceh dalam sejarah, syariat Islam, dan perjuangan politiknya.
Namun, sejak 2006 hingga 2025, banyak butir UUPA yang justru dibiarkan mandek.
Bendera Aceh yang telah disahkan DPRA ditolak pemerintah pusat.
Dana Otsus terus berkurang porsinya.
Kewenangan syariat sering dibenturkan dengan aturan pusat.
Sementara itu, rakyat kecil tetap terjepit dalam kemiskinan, pengangguran, dan ketidakpastian masa depan.
Ironisnya, elit politik lokal justru sibuk berebut proyek dan jabatan, melupakan semangat awal perjuangan yang ditegaskan dalam Ikrar Lamteh.
Ikrar Lamteh: Janji Suci yang Dikhianati
Ikrar Lamteh diucapkan pada 17 Juli 2005 — sebulan sebelum MoU Helsinki ditandatangani. Di sebuah balai sederhana di Lamteh, Aceh Besar, para pimpinan GAM, tokoh ulama, dan masyarakat sepakat menyatakan:
“Kami berikrar atas nama Allah dan Rasul-Nya, bahwa kami akan setia kepada butir-butir perjanjian damai. Bahwa perjuangan Aceh tidak akan dikhianati oleh para pemimpin yang rakus, dan hak rakyat akan dijaga dalam bingkai keadilan dan syariat.”
Itu bukan sekadar kalimat. Itu sumpah. Itu janji moral yang seharusnya jadi pagar etika bagi seluruh elit Aceh.
Tapi lihat hari ini — apakah janji itu ditepati?
Korupsi merajalela. Jabatan dibagi-bagi. Dana Otsus jadi rebutan. Syariat dipolitisasi.
Ikrar Lamteh seakan cuma tinggal catatan seremonial tanpa makna.
Otsus: Berkah atau Malapetaka?
Banyak pihak berkata, Dana Otsus sudah mencapai Rp 100 triliun lebih sejak 2008. Tapi angka kemiskinan tetap tinggi. Pengangguran meningkat. Dana desa habis entah ke mana. Infrastruktur banyak mangkrak.
Otsus seharusnya jadi instrumen pemberdayaan rakyat, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi kerakyatan. Tapi yang terjadi:
- Otsus dikuasai segelintir elit partai lokal
- Proyeknya habis dibagi-bagi antara pemilik suara di DPRA
- Rakyat kecil hanya jadi penonton, bahkan sering dijadikan alat saat pilkada
Kalau begini, Otsus bukan lagi anugerah, tapi jadi bencana moral bagi Aceh.
2025: Masa Genting Otonomi Aceh
Kini, di tahun 2025, Otsus Aceh berada di ujung tanduk. Dana transfer pusat makin mengecil. Banyak pasal di UUPA dilangkahi oleh UU pusat. Keistimewaan Aceh secara de facto perlahan terkikis.
Di sisi lain, rakyat mulai bosan. Kepercayaan terhadap elit lokal anjlok. Generasi muda lebih memilih pergi ke luar Aceh mencari kerja daripada tinggal di tanah sendiri.
Aceh butuh refleksi besar:
Apakah kita ingin Otsus dipertahankan dengan sistem bobrok seperti ini?
Atau kita rombak total dan kembalikan kepada cita-cita Ikrar Lamteh?
Membangunkan Kembali Semangat Lamteh
Sudah saatnya elit Aceh berhenti menjadi budak proyek dan jatah jabatan. Kembalikan Ikrar Lamteh sebagai pegangan moral dalam berpolitik. Beberapa hal konkret yang bisa dilakukan:
- Revisi total tata kelola Dana Otsus — buat transparan, berbasis kebutuhan rakyat, bukan titipan politik.
- Aktualisasi butir-butir MoU Helsinki — jangan biarkan pusat terus menggerus kewenangan Aceh.
- Angkat kembali Bendera Aceh dan lambang kebesaran Aceh secara konstitusional.
- Perkuat syariat Islam yang adil dan beradab, bukan sekadar simbolisme hukum cambuk.
- Bangun ekonomi rakyat berbasis dayah, koperasi desa, dan UMKM, bukan hanya investor luar.
Jika ini dilakukan, maka Otsus bisa kembali bermakna, dan Ikrar Lamteh hidup kembali di dada rakyat.
Penutup: Masih Adakah Martabat Itu?
Sejarah mencatat, bangsa yang melupakan janjinya pasti akan terhina. Aceh terlalu besar untuk dihancurkan oleh elit rakus dan politik kotor. Saatnya rakyat bangkit menagih janji.
Ikrar Lamteh bukan sekadar peristiwa 2005, tapi roh perjuangan yang seharusnya hidup dalam setiap kebijakan. Kalau hari ini kita diam, maka anak cucu kita nanti akan mengutuk kita.
Karena kalau Otsus dikhianati, kalau hak Aceh dipreteli, dan kalau Ikrar Lamteh dilupakan — jangan salahkan sejarah jika kelak Aceh memilih jalan lamanya: beusaboh!