Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Wasiat Terakhir Raja dan Para Hulubalang Aceh Sebelum Aceh Masuk ke NKRI: Sejarah, Hikayat, dan Refleksi

Kamis, 01 Mei 2025 | 14:23 WIB Last Updated 2025-05-01T08:12:37Z



 Sebuah Zaman yang Retak

Ketika Kesultanan Aceh Darussalam mulai goyah akibat perang panjang melawan Belanda (1873–1904) dan perlahan masuk ke pangkuan kolonial, lahirlah banyak pesan dan wasiat dari para raja, uleebalang, ulama, dan pejuang kepada generasi penerus.

Momen keruntuhan itu bukan sekadar kehilangan benteng dan wilayah, melainkan juga ujian harga diri dan identitas bangsa Aceh. Wasiat-wasiat ini kemudian diwariskan melalui Hikayat Prang Sabi, Syair Perang Aceh, dan pidato para ulee balang yang dikisahkan turun-temurun.


Bagian I: Wasiat Tentang Kepemimpinan

Dalam pidato terakhir para hulubalang dan para pengawal Sultan Muhammad Daud Syah (Sultan terakhir Aceh yang wafat 1939), disebutkan:

“Pemimpin Aceh bukan sekadar penguasa, tapi pelindung adat, syariat, dan marwah rakyat. Jika pemimpinmu tunduk kepada kekuasaan asing tanpa memperjuangkan hak rakyatnya, maka jangan turuti dia.”

Hikayat Prang Sabi juga menulis:

“Pemimpin yang takut mati lebih hina daripada seekor kambing yang disembelih.”

Wasiat mereka:

  • Pemimpin Aceh harus menjaga agama, adat, dan harga diri negeri.
  • Lebih baik mati di medan perang daripada hidup hina di bawah telunjuk asing.
  • Kepemimpinan itu amanah, bukan warisan.

Bagian II: Wasiat Tentang Akhlak

Ulama-ulama Aceh masa itu, seperti Tgk. Chik di Tiro Muhammad Saman dan Teungku di Paya Bakong, berpesan:

“Anak cucuku… jangan kalian tinggalkan adab dan akhlak. Negeri yang kuat bukan karena benteng, tapi karena akhlak rakyatnya.”

Hikayat Pocut Baren mencatat:

  • Orang Aceh dikenal karena adabnya.
  • Hormat kepada orang tua, ulama, dan tetamu adalah ciri anak Aceh sejati.
  • Jangan biarkan harta dunia menghilangkan akhlak keturunanmu.

Bagian III: Wasiat Tentang Perempuan Aceh

Perempuan Aceh sejak era Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Pocut Baren hingga Teungku Fakinah, adalah tiang perlawanan. Wasiat para pejuang perempuan itu berbunyi:

“Ajarkan anak perempuanmu membaca Qur’an, mengangkat senjata, dan menjaga marwah keluarga. Karena dari rahim perempuan Aceh lahir pejuang, bukan pengecut.”

Hikayat Prang Sabi:

“Perempuan Aceh lebih rela mati daripada dipermalukan penjajah.”

Wasiat ini mengingatkan:

  • Jangan rendahkan perempuan Aceh.
  • Jangan jadikan perempuan Aceh budak modernitas tanpa adat dan agama.
  • Perempuan Aceh harus dididik menjadi penjaga adat, agama, dan marwah keluarga.

Bagian IV: Wasiat Tentang Perang dan Perdamaian

Para pejuang Aceh paham, peperangan bukan selamanya. Tapi bila harga diri diinjak, perang adalah jalan kehormatan.

Wasiat mereka:

  • Jika terpaksa berperang, niatkan karena agama, bukan dunia.
  • Jangan bunuh anak-anak, perempuan, dan orang tua.
  • Jika damai datang tanpa menghinakan agama dan adat, maka sambutlah.

Pidato terakhir Sultan Aceh di pengasingan (dalam catatan Snouck Hurgronje):

“Jika Aceh takluk hari ini, jangan biarkan anak cucu kalian mewarisi jiwa budak.”


Penutup: Wasiat Sejarah Bagi Generasi Aceh Kini

Kini, Aceh telah masuk ke dalam NKRI. Tapi wasiat para raja, ulama, dan pejuang itu tetap relevan:

  • Jangan lupakan sejarah negerimu.
  • Jangan biarkan adat dan syariatmu hancur di tangan pemimpin pengecut.
  • Jangan izinkan tanahmu diperjualbelikan atas nama pembangunan.
  • Dan jangan pernah lupakan bahwa Aceh adalah bangsa besar yang pernah menggetarkan dunia.

Jika Engkau Anak Aceh Sejati, Bacalah Wasiat Ini Dengan Hati. Karena yang tak kenal sejarahnya, akan mudah dibodohi, dijual, dan dilupakan.

penulis Azhari