Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Aceh Butuh Museum Konflik , Agar Sejarah Tak Dilupakan

Senin, 21 Juli 2025 | 12:36 WIB Last Updated 2025-07-21T05:59:07Z

Aceh Butuh Museum Konflik —  Agar Sejarah Tak Dilupakan



Oleh: Azhari 


Aceh telah melewati masa paling kelam dalam sejarahnya. Bertahun-tahun konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan negara Indonesia telah merenggut puluhan ribu nyawa, menghancurkan desa-desa, memisahkan keluarga, dan melahirkan generasi yatim serta trauma kolektif. Meski perdamaian telah hadir lewat MoU Helsinki tahun 2005, satu hal penting masih luput dari perhatian bersama: Aceh belum punya Museum Konflik Aceh.

Museum bukan sekadar tempat menyimpan barang lama. Ia adalah rumah bagi ingatan, ruang bagi kebenaran, dan jembatan antara masa lalu dan masa depan. Jika kita ingin membangun Aceh yang damai dan adil, maka membangun Museum Konflik Aceh adalah keharusan sejarah dan moral.


Mengapa Museum Konflik Itu Penting?

1. Menjaga Ingatan Kolektif
Konflik Aceh bukan cerita fiksi. Ia nyata. Ia hidup dalam tubuh para korban yang selamat, dalam air mata para ibu yang kehilangan anak, dan dalam sunyi para janda yang tak tahu ke mana jenazah suaminya. Tapi waktu perlahan memudarkan ingatan. Tanpa museum, cerita-cerita itu akan hilang, tergantikan oleh narasi-narasi politik yang dibentuk oleh kepentingan.

Museum menjadi ruang untuk menyimpan dokumentasi: foto, video, surat, rekaman suara, testimoni korban, benda-benda dari masa konflik—semuanya menjadi bukti sejarah yang tak bisa dipalsukan.

2. Mengedukasi Generasi Muda
Anak-anak Aceh hari ini tumbuh dalam damai, dan itu patut disyukuri. Tapi damai tanpa pengetahuan tentang masa lalu adalah damai yang rapuh. Generasi muda perlu tahu bahwa kedamaian yang mereka nikmati hari ini dibayar dengan darah, air mata, dan kehilangan.

Museum bisa menjadi ruang belajar yang hidup. Di sana, anak-anak bisa melihat langsung realitas sejarah yang selama ini hanya samar diceritakan. Mereka bisa memahami bahwa kekerasan bukan jalan keluar, dan bahwa keadilan adalah bagian dari rekonsiliasi.

3. Menghormati Korban, Bukan Membuka Luka
Sebagian orang menolak ide museum karena dianggap “membuka luka lama”. Tapi justru sebaliknya, museum adalah cara paling bermartabat untuk menyembuhkan luka, karena ia mengakui bahwa luka itu ada. Mengubur luka tanpa menyentuhnya hanya akan membuatnya membusuk dalam diam.

Dengan museum, para korban merasa dihargai. Nama-nama mereka tak lagi hilang. Cerita mereka tak lagi sunyi. Mereka menjadi bagian dari sejarah yang hidup dan dikenang.


Di Mana Hati Para Pemimpin?

Sudah 20 tahun damai, tapi museum konflik belum berdiri. Padahal kita punya museum tsunami, museum kesultanan, bahkan museum kopi. Tapi di mana ruang bagi sejarah luka dan perjuangan?
Mengapa para pemimpin kita tak pernah serius membangun museum konflik? Apakah karena sejarah itu terlalu jujur untuk dihadirkan?

Ironisnya, elite yang dulu berdiri dalam konflik kini menikmati jabatan dan kemewahan dari perdamaian. Tapi mereka lupa memberi ruang bagi korban, bagi saksi bisu, bagi para keluarga yang masih bertanya: di mana kubur anakku? siapa yang membunuh suamiku? mengapa kami tak pernah dianggap ada?


Museum untuk Masa Depan, Bukan Masa Lalu

Museum konflik bukan tentang masa lalu semata. Ia adalah investasi untuk masa depan. Sebab bangsa atau daerah yang berani menghadapi sejarahnya, adalah bangsa yang siap melangkah ke depan dengan kesadaran dan keadilan.

Aceh butuh museum konflik seperti Jerman punya museum Holocaust, Kamboja punya museum Kekejaman Khmer Merah, dan Korea punya museum Perang Korea. Semua itu dibangun bukan untuk menghidupkan dendam, tapi untuk menumbuhkan kesadaran damai dan tanggung jawab kemanusiaan.


 Jangan Biarkan Aceh Hilang Ingatan

Bila tak ada museum, maka sejarah akan ditulis oleh mereka yang berkuasa, bukan oleh mereka yang menderita. Bila tak ada ruang pengingat, maka damai akan menjadi basa-basi, dan korban akan terus merasa diabaikan.

“Aceh butuh museum konflik. Bukan karena kami ingin mengenang perang, tapi karena kami ingin menjaga damai dengan kejujuran.”

Ini bukan soal bangunan megah. Ini soal keberanian untuk menghadirkan kebenaran dalam ruang yang bisa dilihat, dirasakan, dan diwariskan. Aceh, jangan biarkan sejarahmu hilang. Bangunlah museum konflik. Demi mereka yang telah pergi. Demi kita yang masih hidup. Dan demi generasi yang akan datang.