Hukum dalam masyarakat tidak hanya lahir dari teks perundang-undangan semata. Ia terbentuk dari perpaduan antara norma agama, adat, nilai moral, dan kebutuhan sosial yang saling membentuk pola hidup manusia. Dalam konteks Indonesia, khususnya di wilayah-wilayah berlandaskan hukum Islam seperti Aceh, hukum tidak sekadar tertulis di kitab undang-undang, tapi juga tumbuh dan hidup dalam masyarakat.
Salah satu isu hukum yang kerap menjadi perdebatan, baik dari perspektif agama maupun sosial, adalah praktik poligami. Di satu sisi, poligami sering dianggap kontroversial, terutama dalam narasi hak-hak perempuan. Di sisi lain, praktik ini memiliki dasar hukum yang jelas baik dalam hukum Islam maupun hukum nasional dengan sejumlah syarat ketat. Lebih dari itu, jika dikelola dengan bijaksana dan memenuhi syarat syariat serta etika sosial, poligami justru bisa membawa manfaat sosial dan maslahat dalam kondisi tertentu.
Hukum dalam Masyarakat: Bergerak antara Tertulis dan Tidak Tertulis
Dalam teori sosiologi hukum, hukum positif (tertulis) dan hukum sosial (living law) sering kali berjalan berdampingan. Hukum tertulis, seperti UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Qanun Jinayat di Aceh, mengatur praktik kehidupan bernegara. Namun dalam masyarakat, aturan tidak tertulis yang bersumber dari agama, adat istiadat, dan kebiasaan sehari-hari tak kalah kuatnya dalam memengaruhi perilaku warga.
Misalnya, di sebagian masyarakat Aceh, hukum adat dalam hal pernikahan, perceraian, hingga poligami tetap dipegang teguh. Kendati undang-undang mengatur izin poligami harus melalui pengadilan agama dengan syarat ketat, dalam praktiknya banyak masyarakat yang masih menilai restu keluarga dan adat sebagai prasyarat moral yang wajib dipenuhi, bahkan lebih kuat dari putusan hukum formal.
Poligami dalam Perspektif Hukum Nasional dan Islam
Dalam hukum nasional Indonesia, poligami diatur melalui Pasal 3 dan Pasal 4 UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang pada prinsipnya menganut asas monogami, tetapi memperbolehkan poligami dengan syarat tertentu. Di antaranya:
- Istri tidak dapat menjalankan kewajiban.
- Istri mengalami cacat atau penyakit berat.
- Istri tidak dapat memberikan keturunan.
Itupun harus melalui izin pengadilan agama dan persetujuan istri.
Sementara dalam hukum Islam, poligami dibolehkan dengan batas maksimal empat istri, sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nisa ayat 3, dengan syarat mutlak keadilan. Artinya, meskipun dibolehkan, syarat keadilan ini bukan perkara mudah. Bahkan banyak ulama menilai keadilan lahir batin terhadap beberapa istri hampir mustahil dilakukan tanpa kedewasaan iman dan akhlak yang tinggi.
Kelebihan Poligami dalam Tertentu
Dalam konteks hukum Islam dan realita sosial, poligami punya sejumlah kelebihan apabila dijalankan dengan benar:
-
Melindungi Perempuan yang Rentan Di banyak kasus, poligami menjadi solusi bagi janda-janda muda, perempuan tanpa perlindungan ekonomi, atau korban konflik yang kesulitan mendapatkan pasangan. Dengan pernikahan yang sah, perempuan terlindungi hak nafkah, status hukum anak, dan hak waris.
-
Menghindari Perzinaan Dalam situasi tertentu di mana seorang lelaki membutuhkan pendamping dan belum dapat menikah secara monogami karena kondisi tertentu, poligami secara syariat lebih baik ketimbang melakukan perzinahan. Tentu dengan syarat memenuhi hukum yang berlaku dan tidak menzalimi perempuan.
-
Solusi Keturunan Ada situasi di mana pasangan pertama tidak bisa memberikan keturunan, sedangkan kebutuhan keturunan dalam adat dan keluarga besar sangat diharapkan. Dalam kondisi ini, poligami bisa menjadi solusi tanpa menceraikan istri pertama, dengan tetap menjaga hak-haknya.
-
Maslahat Sosial Dalam komunitas masyarakat tertentu, poligami dijalankan untuk menjaga ikatan sosial dan menghindari fitnah. Misalnya, menikahi janda saudara atau sahabat yang meninggal demi menjaga kehormatan keluarga, hal ini kerap terjadi di komunitas Islam tradisional.
Risiko dan Tantangan
Meski memiliki kelebihan, poligami bukan tanpa risiko. Banyak praktik poligami yang justru menimbulkan:
- Ketidakadilan dalam nafkah lahir batin.
- Konflik antar istri dan anak.
- Penelantaran hak istri pertama.
- Pelanggaran hukum administrasi negara bila dilakukan tanpa izin pengadilan.
Karena itu, hukum nasional menetapkan syarat ketat untuk poligami, dan masyarakat adat pun memberi batasan moral, misalnya kewajiban musyawarah keluarga besar sebelum keputusan diambil.
Penutup: Hukum, Akhlak, dan Etika Sosial Harus Sejalan
Poligami adalah bagian dari hukum syariat yang diakui negara, tapi bukan berarti tanpa etika sosial dan moral kemasyarakatan. Syarat utama keadilan dalam poligami bukan hanya soal nafkah, tapi juga soal menjaga kehormatan, hati, dan hak-hak perempuan. Hukum positif mengatur, hukum agama membimbing, dan hukum adat meluruskan.
Di tengah kontroversi poligami, yang paling penting adalah kesadaran hukum dan tanggung jawab moral. Sebab, poligami tanpa tanggung jawab dan etika hanya akan merusak tatanan keluarga dan masyarakat.
Penting bagi masyarakat memahami hukum secara komprehensif, bukan hanya dari teks undang-undang, tapi juga dari nilai-nilai agama, adat, dan moralitas sosial. Dengan begitu, praktik poligami bisa menjadi maslahat, bukan musibah.
Penulis Azhari