Aceh bukan sekadar nama sebuah provinsi di ujung barat Nusantara. Aceh adalah jiwa. Aceh adalah peradaban tua yang diwariskan melalui darah, adat, syair, dan peutuah dari para pendahulu yang rela menukarkan nyawa demi marwah dan kemuliaan tanahnya. Kini, di tangan generasi muda Aceh, harapan itu bertumpu — antara diteruskan atau dilupakan.
Pemimpin Sejati Itu Lahir dari Kepedulian
Dalam sejarahnya, Aceh melahirkan pemimpin bukan dari kemewahan atau warisan kekuasaan, tetapi dari keteladanan dan keberanian mengambil tanggung jawab. Sultan Iskandar Muda, Cut Nyak Dhien, Teuku Umar, hingga Abu Cot Plieng, adalah nama-nama yang hidup bukan hanya karena gelar, tapi karena pengorbanan dan keteguhan menjaga marwah Aceh.
Peutuah tua Aceh pernah berpesan:
“Bek lagee awak teuka droe, bek lagee poma teuka tamita. Meuh keu Aceh, meuh keu droe, meuh keu agama.”
(Jangan sampai kita menjadi musuh bagi diri sendiri, jangan menjadi tamu di tanah sendiri. Berjuanglah untuk Aceh, untuk dirimu, dan untuk agamamu.)
Pesan itu seolah dititipkan untuk generasi muda hari ini, yang hidup di tengah arus globalisasi, di mana identitas bisa hilang dalam sekejap, digantikan oleh budaya instan dan pragmatisme politik.
Tantangan Generasi Muda Aceh
Setelah damai MoU Helsinki 2005, banyak generasi muda Aceh lahir tanpa suara dentuman senjata. Mereka tumbuh dalam suasana relatif aman, tetapi juga menghadapi tantangan baru yang tak kalah berbahaya: kemiskinan mental, kehilangan arah sejarah, dan kecenderungan meniru budaya asing tanpa filter.
Sebagian generasi muda Aceh mulai gamang terhadap jati dirinya. Banyak yang lebih hafal budaya pop Korea ketimbang syair-syair indatu. Lebih paham tren TikTok ketimbang kisah heroik Cut Meutia. Lebih cepat tersinggung di media sosial ketimbang berani berdebat tentang nasib kampung halamannya.
Aceh butuh pemimpin-pemimpin muda yang lahir dari nurani rakyat, bukan dari mesin politik transaksional. Butuh anak muda yang tak hanya cerdas, tetapi juga paham peutuah adat, mampu merawat warisan peradaban, dan sanggup berdiri di garda depan saat marwah Aceh direndahkan.
Peutuah Sebagai Kompas Moral
Peutuah dalam tradisi Aceh bukan sekadar petuah tua, melainkan kompas moral. Di setiap rumah Aceh dahulu, anak-anak diajarkan:
“Bek takot beungoh, takut di akhirat. Bek jinè di dunia, jinè di kubur.”
(Jangan takut miskin di dunia, takutlah miskin di akhirat. Jangan hina di dunia, hina di kubur.)
Ini bukan sekadar pesan agama, tapi filsafat hidup orang Aceh agar tak mudah silau oleh jabatan, kekayaan, dan gemerlap dunia. Pemimpin Aceh ke depan harus mengembalikan nilai ini ke ruang publik, ke dalam kurikulum pendidikan, ke ruang dayah, dan ke meja-meja rapat pemerintahan.
Waktunya Bangkit
Generasi muda Aceh harus menyadari bahwa daerah ini punya hak istimewa: syariat Islam, otonomi khusus, dan sejarah perlawanan yang diakui dunia. Jangan sampai keistimewaan itu hanya jadi jargon tanpa arah.
Jangan lagi menjadi penonton saat politik uang merajalela. Jangan diam ketika potensi Aceh dieksploitasi. Jadilah pemimpin yang berani, bahkan bila harus berbeda suara dengan mayoritas. Seperti pesan indatu:
“Meuh keu hak, pat tamita. Meuh keu batil, bek ulee bah.”
(Jika itu benar, bela. Jika itu batil, jangan ikut-ikutan.)
Penutup: Warisan yang Tak Boleh Hilang
Di setiap jejak sejarah Aceh, ada darah dan doa para pendahulu. Jika hari ini kita bisa hidup di tanah damai, itu karena ada air mata dan nyawa yang dikorbankan. Maka tugas generasi muda Aceh bukan sekadar menikmati damai, tapi memastikan Aceh tak kehilangan martabat, adat, dan kehormatannya.
Pemimpin itu bukan yang hanya cakap bicara, tetapi yang punya nyali menjaga warisan dan merumuskan masa depan. Seperti pesan terakhir Sultan Iskandar Muda:
“Hana rupo jeut goh, hana peutimang jeut jeut.”
(Tanpa semangat, semua akan sirna. Tanpa kesungguhan, semua sia-sia.)
Generasi muda Aceh, waktunya kalian bangkit. Jangan tunggu Aceh hancur kembali baru kalian bergerak.
Azhari