Dalam lembaran sejarah intelektual Islam di Nusantara, nama Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy menjadi sosok yang patut dikenang dan dijadikan teladan. Ia bukan hanya seorang ulama besar asal Aceh, tetapi juga seorang pemikir, pengajar, dan penulis produktif yang mengakar kuat dalam tradisi keilmuan Islam sekaligus menjembatani dengan semangat pembaruan.
Hasbi Ash-Shiddieqy lahir pada 10 Maret 1904 di Lhokseumawe, Aceh. Sejak usia muda, ia sudah menunjukkan bakat luar biasa dalam bidang agama dan bahasa Arab. Setelah menempuh pendidikan di berbagai lembaga keagamaan tradisional, ia melanjutkan pendidikan ke luar Aceh dan terlibat aktif dalam dunia keilmuan Islam yang lebih luas. Namun, bukan hanya karena latar belakang pendidikan yang menjadikannya menonjol, melainkan karena dedikasi intelektualnya yang begitu besar dalam menggagas pembaruan fikih Islam di Indonesia.
Ulama Progresif yang Mengakar
Sebagai ulama, Hasbi Ash-Shiddieqy berani mengemukakan pendapat yang berbeda dalam kerangka pembaruan pemikiran Islam, namun tetap berpijak pada sumber-sumber otoritatif. Salah satu gagasan pentingnya adalah tentang fikih Indonesia. Ia percaya bahwa hukum Islam bisa disesuaikan dengan konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, tanpa kehilangan ruh dan prinsip dasarnya. Di saat sebagian kalangan masih terjebak pada fanatisme mazhab, Hasbi menyerukan pembaruan hukum Islam dengan tetap berlandaskan pada Al-Qur’an dan Sunnah.
Pendekatan ini menjadikannya pionir dalam mengembangkan fikih kontekstual yang relevan dengan kehidupan sosial-politik Indonesia modern. Ia tak ragu mengemukakan bahwa produk ijtihad ulama klasik harus dibaca ulang sesuai konteks masyarakat Indonesia kontemporer, bukan hanya menyalin secara literal dari Timur Tengah.
Pelopor Ilmu Tafsir dan Hukum Islam
Hasbi juga dikenal sebagai pelopor dalam bidang tafsir Al-Qur’an berbahasa Indonesia. Karyanya “Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur” menjadi rujukan penting dalam dunia akademik dan pendidikan Islam Indonesia. Dalam karya tersebut, ia tidak hanya menafsirkan ayat secara tekstual, tetapi juga menjelaskan makna ayat dalam konteks kehidupan sosial masyarakat.
Di bidang hukum Islam, Hasbi Ash-Shiddieqy juga produktif menulis buku-buku penting seperti Pengantar Ilmu Fiqih, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, dan Sejarah Hukum Islam. Gagasan dan warisannya menjadi dasar kurikulum di berbagai perguruan tinggi Islam di Indonesia. Ia juga merupakan salah satu pendiri Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Warisan Intelektual dan Teladan Moral
Hasbi bukan sekadar seorang cendekiawan. Ia juga menjadi panutan dalam integritas moral dan keberanian intelektual. Di tengah ketegangan antara tradisionalisme dan modernisme Islam, Hasbi mengambil jalan tengah. Ia tidak meninggalkan tradisi, tetapi menafsirkan ulang agar tetap relevan.
Warisan pemikiran Hasbi Ash-Shiddieqy hingga kini masih relevan untuk menjawab persoalan umat Islam Indonesia, terutama dalam konteks pluralisme, keadilan sosial, dan kebangsaan. Di era digital saat ini, ketika literasi agama terfragmentasi dan tersebar lewat media sosial yang dangkal, pendekatan keilmuan Hasbi bisa menjadi penyeimbang: bahwa agama harus dipahami secara mendalam, menyeluruh, dan kontekstual.
Penutup: Menghidupkan Kembali Warisan Keilmuan
Kita hidup di zaman di mana informasi tersebar luas namun kedalaman berpikir justru menipis. Di sinilah pentingnya meneladani ulama seperti Hasbi Ash-Shiddieqy. Ia mengajarkan bahwa keilmuan harus dibangun dengan disiplin, bahwa keberanian berpikir bukan berarti memberontak terhadap tradisi, dan bahwa Islam Indonesia memiliki kekayaan intelektual yang luar biasa.
Sebagai generasi muda Aceh dan Indonesia, sudah saatnya kita mengenal lebih dalam tokoh-tokoh seperti Hasbi Ash-Shiddieqy, bukan hanya untuk dikenang, tapi untuk dijadikan pijakan dalam membangun Islam yang rahmatan lil ‘alamin — yang toleran, kontekstual, dan mencerdaskan umat.