Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Perang Rasional di Aceh: Antara Idealisme dan Kepentingan

Kamis, 24 Juli 2025 | 20:34 WIB Last Updated 2025-07-24T13:34:49Z




Di tanah Serambi Mekkah, konflik bukan sekadar benturan senjata, tapi juga pergulatan rasionalitas. Sejarah panjang Aceh adalah kisah tentang perlawanan yang lahir dari idealisme, namun tak jarang terjebak dalam kalkulasi pragmatis. Maka lahirlah istilah yang patut kita renungkan hari ini: perang rasional. Bukan semata emosional, tapi konflik yang lahir dari perhitungan untung-rugi, strategi, bahkan kompromi.

Antara Jiwa Perlawanan dan Akal Strategis

Aceh dikenal sebagai daerah yang paling lama melawan kolonialisme Belanda. Tapi bila kita amati lebih dalam, perlawanan tersebut bukan hanya didorong oleh keberanian atau semangat jihad semata, melainkan karena kesadaran akan eksistensi dan identitas yang terancam. Itu adalah bentuk rasionalitas — mempertahankan martabat dan kedaulatan sebagai dasar hakiki kemanusiaan.

Namun dalam dinamika politik modern, rasionalitas kadang berubah menjadi siasat. Perang rasional di masa damai bisa berarti adu strategi antara elit demi kekuasaan, bukan demi rakyat. Jika dulu perang dimulai dari semangat kolektif, kini bisa jadi dimulai dari ruang rapat yang gelap. Rasionalitas di tangan orang serakah dapat menjadi pisau yang merobek etika dan kepercayaan publik.

Damai yang Rasional atau Damai yang Kosong

Setelah MoU Helsinki 2005, Aceh menikmati masa damai yang diklaim sebagai prestasi dunia. Tapi pertanyaannya: damai bagi siapa? Bagi sebagian elit, ini damai yang menguntungkan — jabatan, proyek, dan kontrol. Tapi bagi rakyat miskin, damai ini belum tentu rasional karena tak kunjung membawa perubahan sosial signifikan. Artinya, perang rasional telah berganti wujud: bukan lagi senjata, tapi struktur ketidakadilan yang tetap hidup dalam diam.

Membangun Rasionalitas Baru: Politik Berbasis Hati Nurani

Aceh tidak kekurangan tokoh, tapi sering kekurangan arah. Maka saatnya membalik makna perang rasional menjadi perjuangan rasional — bukan dengan saling menjatuhkan, tapi dengan membangun fondasi pendidikan, ekonomi mandiri, dan budaya jujur. Rasionalitas bukan berarti menipu demi menang, tapi berpikir cerdas untuk membebaskan rakyat dari kebodohan dan kemiskinan.

Kita butuh rasionalitas yang didasari pada ilmu dan akhlak. Anak-anak Aceh harus diajarkan berpikir kritis, tapi juga mencintai tanahnya. Kita perlu pemimpin yang berani mengambil keputusan tidak karena popularitas, tapi karena kebutuhan rakyat. Itulah perang rasional yang sejati — perang melawan ego, melawan korupsi, dan melawan kemalasan intelektual.

Akhir Kata

Aceh harus terus belajar dari masa lalu. Bahwa perang rasional tidak boleh lagi menjadi alasan untuk memperpanjang konflik demi kepentingan kelompok. Rasionalitas hari ini harus menuju perubahan, bukan pengulangan luka. Jika dahulu kita melawan dengan senjata, maka kini saatnya melawan dengan gagasan, integritas, dan cinta akan kemajuan yang berkeadilan.