Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Hilang Jati Diri Karena Over Acting di Pergaulan

Kamis, 10 Juli 2025 | 11:46 WIB Last Updated 2025-07-10T04:47:03Z



Hilang Jati Diri Karena Over Acting di Pergaulan

Oleh: Azhari
(Akademisi dan Pemerhati Sosial Aceh)

Pendahuluan

Di era digital dan pergaulan modern saat ini, manusia semakin haus akan pengakuan. Media sosial, komunitas, hingga lingkungan kerja dan pertemanan menjadi panggung tak kasat mata tempat banyak orang berlomba menunjukkan eksistensi. Ironisnya, dalam upaya tampil di hadapan publik itu, banyak individu justru kehilangan jati diri. Mereka terlalu sibuk berakting, berpura-pura menjadi pribadi yang sebenarnya tidak sesuai dengan karakter aslinya.

Fenomena over acting di pergaulan bukan sekadar soal gaya hidup, tetapi telah menjadi penyakit sosial yang merusak mentalitas generasi. Mereka rela meninggalkan nilai, prinsip, bahkan harga diri, demi sebuah pengakuan palsu. Akibatnya, masyarakat kita dipenuhi manusia-manusia yang kehilangan arah, tidak tahu siapa dirinya, dan hidup dalam standar kebahagiaan semu.


Budaya Pamer dan Tekanan Sosial

Kita hidup di zaman di mana citra sering lebih penting daripada makna. Orang lebih sibuk tampil bahagia di depan kamera, meski hatinya kosong. Lebih sering memamerkan pencapaian, meski realitasnya penuh masalah. Tekanan sosial dan budaya pamer di media sosial memaksa banyak orang harus ikut-ikutan. Yang tidak ikut dianggap ketinggalan zaman, tidak gaul, bahkan dicap minder.

Di sinilah mulai terjadi over acting dalam pergaulan. Ada yang berlagak kaya padahal utang menumpuk. Ada yang bergaya alim di depan umum, tapi moral rapuh di belakang layar. Ada pula yang pura-pura peduli, padahal sekadar cari simpati. Semua demi menjaga citra, demi terlihat eksis di tengah lingkaran sosial yang mulai kehilangan nilai kejujuran.


Over Acting: Dari Sekadar Gaya Hingga Merusak Harga Diri

Fenomena over acting di pergaulan bukan lagi soal gaya, tapi sudah menyentuh aspek moral dan harga diri. Banyak yang rela memalsukan prinsip hidupnya demi diterima lingkungan. Seorang yang awalnya anti rokok, bisa tiba-tiba merokok di tongkrongan hanya karena takut dibilang kuper. Seorang perempuan yang biasa berpakaian sopan, bisa berubah tampil vulgar karena takut dianggap kuno.

Di media sosial lebih parah. Banyak orang mengedit kehidupan seolah-olah sempurna. Padahal, kebahagiaan itu palsu, hanya demi likes dan followers. Parahnya lagi, mereka justru merasa rendah diri ketika tak mampu menyaingi gaya hidup temannya. Inilah gejala krisis identitas sosial, di mana seseorang tidak lagi menjadi dirinya, tetapi menjadi apa yang orang lain ingin lihat.


Dampak Hilangnya Jati Diri

Ketika manusia terlalu sibuk berakting dalam pergaulan, beberapa dampak serius terjadi:

  1. Krisis Mental dan Depresi
    Saat topeng sosial yang dipakai terlalu lama, seseorang bisa mengalami stres dan kehilangan arah hidup. Ia tidak tahu siapa dirinya, apa tujuannya, dan hidupnya menjadi kosong.

  2. Rapuhnya Nilai Moral dan Etika
    Demi eksistensi, orang bisa menghalalkan segala cara. Norma agama, adat, bahkan harga diri bisa dikorbankan.

  3. Terputusnya Relasi yang Tulus
    Pergaulan yang penuh kepura-puraan tidak menghasilkan hubungan sosial yang sehat. Teman hanya sebatas pamer pencapaian, bukan saling menguatkan.

  4. Lemahnya Kepercayaan Diri
    Orang yang selalu berakting demi orang lain cenderung minder jika tampil apa adanya, karena merasa dirinya tidak cukup baik tanpa topeng sosial itu.


Mengembalikan Jati Diri di Tengah Tekanan Sosial

Untuk keluar dari lingkaran over acting ini, beberapa langkah bisa dilakukan:

  • Berani Menjadi Diri Sendiri
    Tak perlu takut berbeda. Setiap orang punya jalan hidup, nilai, dan cita-cita masing-masing. Hidup bukan soal membuat semua orang senang, tapi soal menjadi manusia yang jujur terhadap diri sendiri.

  • Kurangi Konsumsi Media Sosial Berlebihan
    Media sosial sering memicu kecemasan sosial dan standar kebahagiaan palsu. Gunakan seperlunya, dan fokus pada realitas kehidupan yang lebih penting.

  • Kembali ke Nilai-Nilai Agama dan Adat
    Nilai adat dan agama adalah benteng utama menjaga jati diri. Seorang anak Aceh, misalnya, punya budaya peusijuek, petuah orang tua, dan nilai malu yang harus dijaga. Itulah identitas sejati, bukan citra di depan kamera.

  • Bangun Lingkaran Sosial yang Sehat
    Bertemanlah dengan orang yang menerima kita apa adanya, bukan karena pencitraan. Pergaulan yang sehat adalah yang saling menguatkan, bukan saling menjatuhkan demi status sosial.


Penutup

Jati diri adalah mahkota paling berharga dalam hidup manusia. Saat seseorang terlalu sibuk berakting di hadapan orang lain, sesungguhnya ia sedang kehilangan dirinya sendiri. Pergaulan boleh luas, relasi boleh banyak, tapi jangan pernah membiarkan diri tenggelam dalam kepalsuan.

Hidup ini terlalu singkat untuk menjadi orang lain. Jadilah manusia yang utuh, jujur terhadap diri sendiri, dan bangga dengan identitasmu. Karena sejatinya, nilai seseorang bukan diukur dari berapa banyak orang yang menyukainya, tetapi dari seberapa besar ia mampu bertahan menjadi dirinya sendiri di tengah badai kepura-puraan.