Aceh dan Islam ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Sejak pertama kali cahaya Islam menyinari bumi Serambi Mekkah ini, hubungan keduanya telah menjadi fondasi utama pembentukan peradaban, identitas, serta arah kehidupan masyarakat Aceh dari masa ke masa. Dari masa kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam hingga era otonomi khusus saat ini, sejarah mencatat bahwa Islam bukan sekadar agama, melainkan sumber nilai, hukum, pendidikan, serta pemersatu sosial-politik masyarakat Aceh.
Jejak Awal: Islam Masuk ke Aceh
Sejarah mencatat bahwa Aceh merupakan salah satu daerah pertama di Nusantara yang menerima ajaran Islam, sekitar abad ke-7 hingga ke-9 Masehi. Melalui jalur perdagangan internasional, para pedagang dan ulama dari Arab, Persia, dan Gujarat menyebarkan Islam dengan damai. Penerimaan masyarakat terhadap Islam kala itu tidak hanya disebabkan oleh akidah, tetapi juga oleh keunggulan peradaban Islam dalam ilmu pengetahuan, tata hukum, dan sistem sosial.
Kehadiran Kesultanan Perlak dan kemudian Kesultanan Aceh Darussalam menjadi tonggak penting penguatan Islam sebagai dasar negara. Kesultanan Aceh bahkan menjelma menjadi kekuatan besar di Asia Tenggara, dengan raja-raja seperti Sultan Iskandar Muda yang tidak hanya membangun militer yang tangguh tetapi juga pusat-pusat pendidikan Islam yang maju, seperti Dayah Darul Ishlah dan Darul Kamal.
Masa Keemasan: Islam sebagai Sumber Peradaban
Abad ke-16 hingga ke-17 menjadi masa keemasan Aceh. Di masa ini, Islam menyatu erat dengan politik, pendidikan, dan hukum. Ulama-ulama besar seperti Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani muncul sebagai intelektual yang memperkenalkan filsafat tasawuf tinggi, menjadi rujukan sampai ke Timur Tengah. Aceh dikenal luas sebagai pusat studi Islam dan pengiriman santri ke Haramain menjadi tradisi yang terus berlangsung.
Hukum Islam diberlakukan dalam kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Qanun (aturan hukum Islam lokal) diterapkan dalam tata pemerintahan, dan lembaga-lembaga keagamaan diberi ruang luas dalam pendidikan dan pengadilan. Tidak berlebihan jika Aceh kala itu disebut sebagai “Benteng Islam” di Asia Tenggara.
Era Penjajahan dan Kemunduran
Namun, kedatangan kolonial Belanda menjadi awal kemunduran Islam sebagai kekuatan politik di Aceh. Strategi pecah belah dan infiltrasi budaya digunakan untuk melemahkan kekuatan ulama dan menghancurkan institusi keislaman. Puncaknya, Snouck Hurgronje melakukan studi tentang Islam di Aceh untuk dijadikan alat melemahkan basis perlawanan umat Islam.
Meski begitu, semangat keislaman tidak pernah padam. Perlawanan terhadap penjajah sebagian besar dilakukan atas dasar jihad fi sabilillah, yang dipimpin para ulama seperti Teungku Chik di Tiro. Ini menunjukkan bahwa Islam tetap menjadi roh perjuangan masyarakat Aceh meskipun dalam kondisi tertekan.
Masa Reformasi dan Otonomi Khusus
Setelah era reformasi dan penandatanganan MoU Helsinki tahun 2005, Aceh diberi otonomi khusus yang memungkinkan penerapan syariat Islam dalam kehidupan masyarakat. Hadirnya Mahkamah Syariah, Wilayatul Hisbah, dan Qanun-Qanun berbasis Islam menjadi tonggak baru dalam upaya mengembalikan ruh Islam dalam sistem sosial dan pemerintahan.
Namun, tantangannya tidak kecil. Di era digital dan globalisasi, masyarakat Aceh, khususnya generasi muda, mulai mengalami alienasi terhadap nilai-nilai Islam. Kosmopolitanisme digital dan gaya hidup konsumtif perlahan-lahan mengikis kesalehan sosial. Syariat Islam kerap hanya dimaknai dalam aspek simbolik, bukan substansi nilai.
Harapan: Membangun Islam yang Mencerahkan
Aceh butuh Islam yang bukan hanya normatif, tetapi juga transformatif. Islam harus hadir sebagai sumber inspirasi perubahan sosial, pencerahan intelektual, dan keadilan ekonomi. Ulama harus memperbarui metode dakwah yang kontekstual, dan pemerintah harus menegakkan syariat dengan pendekatan yang adil, humanis, dan penuh edukasi.
Islam di Aceh harus menjadi spirit untuk membangun pendidikan yang unggul, ekonomi yang mandiri, dan politik yang beretika. Tidak cukup hanya membanggakan sejarah masa lalu. Islam harus menjadi jalan hidup masa kini dan masa depan yang menjawab tantangan zaman dengan rahmat, bukan hanya dengan sanksi.
Aceh dan Islam adalah warisan yang tak ternilai. Namun warisan itu akan menjadi hampa jika tidak dirawat, dihidupkan, dan diperjuangkan dalam semangat zaman. Islam bukan hanya sejarah di Aceh, tetapi masa depan. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk menjadikan Islam kembali sebagai kekuatan peradaban, bukan sekadar kebanggaan masa lalu.
Dengan semangat keilmuan, kesalehan sosial, dan keadilan hukum, Aceh bisa kembali menjadi lentera Islam di Asia Tenggara, bukan hanya dalam nama, tetapi juga dalam laku dan amal.