Dalam hiruk pikuk kehidupan modern, godaan jabatan, pangkat, dan kekuasaan menjadi impian banyak orang. Tidak sedikit yang rela mengorbankan waktu, tenaga, bahkan nurani demi mengejar status sosial yang lebih tinggi. Namun sering kali, dalam perjalanan meraih puncak dunia, seseorang justru melupakan hal terpenting: keluarga, anak, dan istri. Padahal, di penghujung usia, jabatan bisa habis, pangkat bisa ditanggalkan, tapi keluarga yang setia—jika tidak dijaga sejak awal—bisa pergi tanpa kembali.
Jabatan dan Pangkat Itu Fana
Jabatan bukan milik abadi. Hari ini bisa menjadi pemimpin, esok mungkin hanya mantan yang terlupakan. Sejarah mencatat banyak orang hebat yang dahulu dielu-elukan karena kekuasaan, kini tak lagi disapa setelah kehilangan jabatan. Pangkat hanya tempelan status sosial yang sewaktu-waktu bisa dicabut. Uang yang mengalir dari posisi dan kuasa juga bersifat semu; begitu jabatan pergi, banyak yang ikut menjauh.
Terlalu sibuk mengejar dunia sering membuat kita lupa bahwa keluarga bukan hanya "tempat pulang", tapi juga fondasi keberhasilan hidup. Anak-anak tumbuh cepat, tak bisa diulang. Istri mungkin sabar menunggu, tapi luka batin karena diabaikan bisa menjadi racun dalam rumah tangga. Sayangnya, kesadaran ini sering datang terlambat—ketika anak-anak sudah besar tanpa mengenal ayahnya, dan istri merasa menjadi janda dalam pernikahan yang masih sah.
Uang Tak Menjamin Kebahagiaan
Betul, uang bisa membeli kenyamanan, rumah mewah, mobil bagus, dan pendidikan terbaik. Tapi uang tak mampu membeli cinta yang tulus, waktu yang hangat bersama keluarga, atau tawa bahagia anak-anak di ruang tamu. Ketika orang tua lebih akrab dengan layar laptop dan rapat malam hari, sementara anak hanya ditemani pengasuh, maka perlahan relasi keluarga menjadi dingin dan hampa.
Orang bijak pernah berkata, "Jangan terlalu sibuk mengejar rezeki, hingga lupa bahwa keluarga adalah rezeki itu sendiri." Kehidupan yang seimbang bukan sekadar tentang berapa banyak yang kita hasilkan, tapi juga tentang siapa yang kita bahagiakan. Apalah arti rumah besar bila hati kosong? Untuk apa jabatan tinggi jika hanya menyisakan penyesalan?
Warisan Terbaik Bukan Harta, Tapi Teladan
Anak tidak membutuhkan warisan berupa rumah tiga lantai atau rekening miliaran. Mereka lebih membutuhkan ayah yang hadir di masa kecilnya, yang mengajarkan nilai, adab, dan kasih sayang. Istri tidak menuntut suami menjadi jutawan, tapi menjadi teman hidup yang setia, yang bersedia berbagi cerita dan beban, bukan hanya pulang larut dengan wajah lelah.
Warisan sejati adalah keteladanan: bahwa ayah mereka adalah orang jujur, sederhana, dan penuh kasih. Bahwa suami mereka bukan sekadar pencari nafkah, tapi pemimpin keluarga yang adil dan penyayang.
Mari Kembali ke Titik Niat
Kita tidak dilarang meraih kesuksesan, tapi jangan sampai kehilangan arah. Jangan kejar jabatan sampai lupa untuk memeluk anak. Jangan terobsesi pada pangkat hingga lupa berbagi waktu dengan istri. Dunia memang menggoda, tapi jangan biarkan rumah tangga kita hancur hanya karena ambisi yang berlebihan.
Ingatlah, ketika kita sudah tua dan pensiun, bukan para pejabat yang akan memandikan dan menguburkan kita, tapi keluarga—anak dan istri—yang kita rawat sejak dini.
Karena pada akhirnya, bukan jabatan yang menenangkan hati, tapi cinta yang tulus dari keluarga.