Aceh bukan sekadar tanah rencong atau jejak para sultan. Ia adalah tanah darah dan doa, tempat di mana derap kaki para pejuang tak pernah berhenti menantang tirani. Salah satu sosok yang nyaris terabaikan dari ingatan publik namun memiliki jejak heroik luar biasa adalah Tgk. Chik Kuta Karang—seorang ulama-pejuang yang mengubah strategi perang Aceh dengan kecerdikan dan keberanian.
Penyusupan Cerdas ke Jantung Musuh
Pada Oktober 1887, Tgk. Chik Kuta Karang melakukan aksi yang tak hanya berani, tapi juga cerdas secara militer dan simbolis. Ia bersama pasukan sekitar 400 orang menyamar sebagai peziarah yang hendak mengunjungi makam Syiah Kuala. Sebuah langkah yang tidak saja menyentuh nilai spiritual masyarakat Aceh, tapi juga mengecoh sistem keamanan Belanda. Dalam tradisi Aceh, peziarah adalah tamu Tuhan yang tak layak diganggu—dan pemahaman ini dipakai sebagai tameng oleh Tgk. Chik dan pasukannya.
Melalui cara ini, ia berhasil menembus pertahanan Belanda. Di balik sorban dan baju putih yang sederhana, tersimpan senjata, tekad, dan kemarahan rakyat Aceh yang siap meledak. Dari sini, Tgk. Chik bukan hanya dikenal sebagai pemimpin tempur, tetapi juga simbol perlawanan yang mengedepankan strategi dan pengetahuan sosial-budaya lokal.
Sabotase: Perlawanan yang Maju Secara Teknologi
Setahun kemudian, 1888, perlawanan Tgk. Chik Kuta Karang berubah dari serangan frontal menjadi gerakan sabotase sistematis. Jalur trem kereta api—urat nadi logistik kolonial—dihancurkan. Kawat telegram, alat komunikasi utama Belanda, diputus. Bahkan, rumah-rumah perwira Belanda dijadikan sasaran peledakan menggunakan dinamit.
Taktik ini bukanlah kebetulan. Dinamit digunakan bukan hanya karena efek destruktifnya, tetapi karena simbolnya: Aceh kini mampu melawan dengan teknologi musuh. Menurut riwayat, teknik peledakan ini dipelajari langsung dari seorang serdadu Belanda yang membelot dan bergabung ke pihak pejuang. Sebuah ironi yang mengingatkan bahwa perang bukan hanya tentang jumlah senjata, tapi juga tentang kecerdikan membalikkan kekuatan musuh menjadi senjata perlawanan.
Dampak Nasional dan Internasional: Aceh Jadi Isu Kolonial
Gelombang sabotase ini memaksa Pemerintah Belanda merevisi kebijakan di Aceh. Menteri Koloni, Sprenger van Eyk, dipaksa turun. Ia digantikan oleh Kolonel Dammeni. Tidak hanya itu, status Aceh yang semula dianggap telah “jinak” dalam pengawasan sipil kembali ditetapkan sebagai daerah militer—mirip dengan istilah DOM (Daerah Operasi Militer) di era Orde Baru.
Aceh dengan demikian kembali menjadi medan perang yang membara. Dunia pun mencatatnya. Surat kabar-kabar Eropa menyebutkan bahwa "rakyat kecil dari tanah jauh bernama Atjeh telah memaksa Imperium Belanda mengganti pemimpinnya.” Sungguh tidak banyak daerah koloni yang bisa membuat negara penjajahnya mengganti struktur pemerintah karena tekanan dari wilayah yang dianggap kecil.
Warisan: Dari Gunung ke Hati Rakyat
Warisan Tgk. Chik Kuta Karang bukan hanya berupa strategi militer, tapi juga semangat perlawanan yang waras—yakni berani melawan, tapi tetap dengan kecerdikan, nilai, dan keberpihakan pada rakyat. Ia bukan pemburu pangkat, bukan pula penggila perang. Ia adalah ulama yang memilih jalan perlawanan karena tanah air dan agama terinjak. Sosok seperti ini menjadi penanda bahwa dalam sejarah Aceh, ulama bukan hanya penjaga mimbar, tetapi juga penentu arah bangsa.
Ironisnya, dalam sejarah resmi, kisahnya nyaris hilang ditelan waktu. Di tengah hiruk-pikuk pembangunan dan kontestasi politik hari ini, jejaknya tak banyak dikenal oleh generasi muda Aceh. Padahal, dari dialah kita belajar bahwa keberanian dan strategi bisa berjalan seiring. Dari dialah kita belajar bahwa menyamar bukan berarti takut, melainkan taktik. Dan dari dialah kita mengerti bahwa sabotase bukan tindakan teror, tapi cara mempertahankan hak atas tanah dan martabat.
Refleksi Akhir: Apa yang Kita Warisi Hari Ini?
Jika Tgk. Chik dulu bisa merobek kekuasaan Belanda dengan keterbatasan dan doa, hari ini kita bertanya: dengan segala sumber daya dan kebebasan yang ada, apakah kita masih menyimpan semangat itu? Ataukah kita terjebak dalam perang kepentingan tanpa arah, tanpa strategi, tanpa visi?
Aceh hari ini butuh lebih banyak Tgk. Chik—bukan dalam bentuk senjata, tetapi dalam bentuk keberanian intelektual, strategi membangun keadilan, dan tekad menjaga kehormatan. Sebab musuh kita hari ini bukan lagi Belanda dengan meriamnya, melainkan kemiskinan struktural, korupsi yang sistemik, dan kelupaan terhadap sejarah.
#IngatPerjuangan #AcehMelawan #TgkChikKutaKarang #SejarahAceh #RefleksiKemerdekaan