Di balik riak ombak Selat Malaka dan gelombang Laut Tengah, sejarah mencatat satu lembaran penting yang sering dilupakan: kapal-kapal Aceh yang pernah berlayar hingga ke Turki Utsmani, bukan sebagai ekspedisi dagang semata, tetapi sebagai simbol diplomasi, perjuangan, dan persaudaraan antar negeri Islam. Jejak ini bukan sekadar nostalgia sejarah, melainkan bukti bahwa Aceh pernah menjadi bagian dari percaturan kekuatan dunia Islam internasional.
Aceh dan Turki: Bukan Hubungan Biasa
Kesultanan Aceh Darussalam di abad ke-16 dan 17 bukanlah kerajaan kecil yang hanya berurusan dengan internalnya. Di bawah kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah, kemudian mencapai puncak kebesaran pada masa Sultan Iskandar Muda, Aceh menjelma sebagai salah satu kekuatan Islam di Asia Tenggara yang disegani.
Dalam menghadapi ancaman imperialisme Portugis dan kolonial Eropa lainnya, Aceh tidak berjalan sendiri. Ia membuka jalur diplomasi dengan Turki Utsmani, kekhalifahan Islam terbesar pada masa itu. Dan dari hubungan inilah lahir sejarah luar biasa: dikirimnya kapal dari Aceh ke Turki, dan juga sebaliknya, Turki mengirim senjata, tentara, dan teknisi untuk membantu Aceh melawan Portugis.
Menurut banyak catatan sejarah—termasuk sumber Ottoman dan Portugis—Aceh mengirim utusan diplomatik resmi ke Istanbul pada masa Sultan Alaudin Riayat Syah Al-Qahhar sekitar tahun 1560. Diplomasi itu bukan hanya meminta bantuan militer, tapi juga menegaskan posisi Aceh sebagai bagian dari "dunia Islam" yang satu tubuh.
Kapal Aceh: Simbol Kemandirian dan Keberanian
Keberangkatan kapal Aceh ke Turki adalah peristiwa besar yang menunjukkan bahwa Aceh bukan hanya kerajaan lokal, tapi memiliki kapasitas maritim dan diplomatik kelas dunia. Di tengah keterbatasan zaman, utusan Aceh mampu menyeberangi samudra, menghadapi bahaya bajak laut dan badai, demi satu hal: memperjuangkan tanah air dan agama.
Kapal Aceh yang mengarungi samudra menuju Turki adalah simbol kemandirian, keberanian, dan peradaban maritim Aceh yang tinggi. Ia menandai bahwa orang Aceh sejak dahulu bukan hanya pelaut tangguh, tapi juga pejuang ulung di medan diplomasi.
Bahkan balasan Turki berupa bantuan senjata, artileri, meriam, dan instruktur militer menjadi bukti bahwa kapal Aceh membawa pesan yang kuat, hingga didengar oleh Sultan Suleiman Al-Qanuni (Suleiman the Magnificent), pemimpin dunia Islam kala itu.
Jejak Fisik dan Warisan yang Tersisa
Banyak sejarawan mencatat bahwa sebagian teknologi militer dan arsitektur pertahanan di Aceh memiliki jejak pengaruh Ottoman. Meriam Lada Sicupak yang melegenda, sistem pertahanan benteng, dan pakaian militer Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda menunjukkan pengaruh yang tak terbantahkan.
Dalam beberapa sumber Turki modern, bahkan disebutkan bahwa ada satu kapal Aceh yang konon masih tersimpan di wilayah Anatolia, atau setidaknya catatan tentangnya masih tersimpan dalam arsip kesultanan Ottoman. Meskipun butuh kajian akademik dan arkeologi yang lebih mendalam, ini membuktikan bahwa Aceh pernah memiliki hubungan maritim langsung dengan pusat kekhalifahan Islam.
Jika benar kapal Aceh masih tersisa secara fisik, maka itu bukan sekadar artefak, melainkan simbol kehormatan dan diplomasi tinggi yang harus dijaga dan diangkat kembali ke ruang publik. Generasi muda Aceh berhak tahu bahwa nenek moyangnya pernah mengarungi dunia untuk mempertahankan kedaulatan dan kehormatan umat.
Mengapa Sejarah Ini Penting?
Pertama, karena ia menunjukkan bahwa Aceh memiliki peran global, bukan hanya regional. Ia berdiri sejajar dengan negeri-negeri besar lainnya dalam jaringan diplomasi Islam.
Kedua, sejarah ini membantah narasi kolonial yang sering merendahkan peran kerajaan-kerajaan lokal. Kapal Aceh yang sampai ke Turki adalah bukti bahwa Aceh bukan kerajaan terbelakang, melainkan negara-bangsa merdeka dengan visi jauh ke depan.
Ketiga, sejarah ini membangun kebanggaan kolektif masyarakat Aceh. Bahwa yang mengalir dalam darah kita bukanlah ketakutan dan ketertinggalan, tapi keberanian, strategi, dan solidaritas internasional.
Refleksi: Saatnya Membangkitkan Diplomasi dan Kekuatan Maritim Aceh
Kini, di abad 21, kita mungkin tak lagi mengirim kapal ke Turki dalam arti harfiah. Namun semangat itu harus tetap hidup: semangat membangun koneksi global, memperkuat identitas Islam, dan menjadikan Aceh sebagai poros maritim dan diplomatik dunia Melayu.
Pemerintah daerah, akademisi, dan sejarawan Aceh seharusnya berkolaborasi menelusuri kembali jejak kapal Aceh di Turki. Jika perlu, dilakukan ekspedisi sejarah dan budaya untuk menggali warisan diplomasi ini. Tidak hanya untuk menulis ulang sejarah, tapi juga untuk membangun masa depan yang berakar pada kebesaran masa lalu.
Kapal Itu Masih Berlayar Dalam Jiwa Kita
Mungkin fisik kapal itu telah hilang, tenggelam oleh waktu dan gelombang. Namun semangat kapal Aceh yang berlayar ke Turki masih hidup dalam jiwa rakyat Aceh yang sadar akan sejarahnya. Kapal itu membawa pesan: bahwa perjuangan untuk kemerdekaan dan martabat tak pernah mengenal batas geografis.
Kini tinggal kita, generasi penerus, yang harus menentukan: apakah kita akan terus membiarkan warisan ini tenggelam dalam lupa? Atau kita bangkitkan kembali, sebagai api semangat untuk mengarungi samudra peradaban modern dengan keberanian dan kehormatan yang sama?