Aceh adalah daerah yang memiliki keistimewaan dalam hal hukum. Sejak disepakatinya MoU Helsinki dan disahkannya Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) No. 11 Tahun 2006, Aceh memiliki ruang untuk mengatur dirinya sendiri dalam berbagai aspek, termasuk pelaksanaan Syariat Islam, sistem hukum adat, hingga kebijakan pembangunan lokal. Namun, pertanyaannya kini: apakah tatanan hukum yang berlaku di Aceh benar-benar membawa kesejahteraan bagi rakyatnya?
Hukum Bukan Hanya Alat Kontrol, tetapi Jembatan Keadilan dan Kesejahteraan
Hukum seharusnya menjadi panglima keadilan. Ia hadir untuk melindungi yang lemah, mengatur distribusi sumber daya secara adil, dan memberi kepastian terhadap hak-hak dasar masyarakat, termasuk hak atas pendidikan, pekerjaan, kesehatan, dan rasa aman.
Di Aceh, dengan adanya Qanun-Qanun daerah dan wewenang khusus dalam membentuk perangkat hukum lokal, sesungguhnya terbuka peluang besar untuk menjadikan hukum sebagai instrumen kesejahteraan rakyat. Qanun bukan sekadar simbol identitas, melainkan alat transformasi sosial dan ekonomi.
Namun sayangnya, dalam praktiknya, banyak kebijakan hukum justru lebih fokus pada sisi pengawasan moral dan pelanggaran kecil, ketimbang menjawab masalah besar seperti kemiskinan, pengangguran, pendidikan yang timpang, dan keadilan ekonomi.
Tatanan Hukum Aceh: Antara Idealitas dan Pelaksanaan
Banyak Qanun yang telah disahkan — dari Qanun Syariat Islam, Qanun Wali Nanggroe, hingga Qanun Lembaga Keuangan Syariah — namun belum semuanya berdampak langsung terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat. Misalnya:
-
Qanun Syariat Islam seringkali lebih menitikberatkan pada penegakan hukum terhadap individu (seperti khalwat, maisir, atau pakaian), tetapi belum menyentuh secara serius keadilan sosial atau perlindungan masyarakat dari eksploitasi ekonomi dan politik.
-
Qanun Ekonomi Syariah seperti Qanun Lembaga Keuangan Syariah, meskipun berniat baik untuk membebaskan masyarakat dari riba, namun dalam pelaksanaannya banyak masyarakat kecil yang kebingungan karena tidak tersedia sistem pendampingan dan literasi keuangan yang cukup.
-
Qanun Adat dan Gampong yang seharusnya memperkuat basis demokrasi lokal justru terkadang tersandera oleh konflik kepentingan elite lokal, sehingga tidak sepenuhnya berpihak pada masyarakat.
Dimensi Kesejahteraan dalam Perspektif Aceh
Kesejahteraan masyarakat Aceh tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang konflik dan luka kolektif. Tatanan hukum yang berlaku seharusnya merespons trauma sejarah itu dengan pendekatan keadilan restoratif, bukan represif. Maka, hukum di Aceh harus:
-
Memberi Kepastian Hak atas Tanah dan Ekonomi Rakyat: Banyak masyarakat yang belum memiliki kepastian hukum atas tanah garapan atau lahan adat. Ini menjadi penghambat produktivitas ekonomi. Hukum harus hadir mengatur distribusi aset agar lebih adil dan berpihak pada rakyat kecil.
-
Mendorong Transaparansi Dana Otsus dan Hukum Tata Kelola: Dana Otonomi Khusus yang besar belum sepenuhnya menetes ke masyarakat bawah. Jika hukum tidak mampu menjamin transparansi dan akuntabilitas, maka rakyat akan terus jadi penonton dalam pembangunan.
-
Melindungi Perempuan dan Anak secara Holistik: Hukum yang diterapkan harus sensitif terhadap kelompok rentan. Pelanggaran terhadap perempuan, anak, dan korban kekerasan tidak boleh lagi dibiarkan berlindung di balik dalih adat atau aib keluarga.
-
Menguatkan Lembaga Hukum Lokal yang Bersih dan Profesional: Keberadaan Mahkamah Syar’iyah, Kejaksaan Syariah, dan WH (Wilayatul Hisbah) harus diperkuat secara moral dan kapasitas, bukan hanya mengejar simbol. Profesionalisme dan integritas menjadi kunci agar masyarakat percaya bahwa hukum berpihak pada keadilan, bukan alat kekuasaan.
Harapan ke Depan: Reformasi Hukum untuk Kesejahteraan
Aceh memiliki peluang emas untuk membuktikan bahwa sistem hukum lokal yang berbasis nilai Islam dan adat dapat membawa masyarakat pada keadilan dan kemajuan. Namun itu hanya bisa tercapai jika:
- Penegakan hukum berpihak pada masyarakat lemah, bukan elite;
- Tatanan hukum disinergikan dengan kebijakan ekonomi dan sosial yang berkeadilan;
- Pendidikan hukum diperluas, agar masyarakat tidak takut pada hukum, tetapi merasa dilindungi olehnya;
- Partisipasi rakyat dalam penyusunan dan pengawasan qanun diperluas, bukan hanya melalui rapat elite.
Membangun Hukum yang Mensejahterakan
Kesejahteraan bukan sekadar angka statistik, melainkan rasa aman, adil, dan terpenuhinya hak-hak dasar. Jika hukum di Aceh hanya sibuk mengatur “penampilan” masyarakat tanpa menyentuh akar masalah seperti ketimpangan, korupsi, dan eksploitasi, maka cita-cita menciptakan masyarakat madani akan tinggal dalam teks qanun belaka.
Sudah waktunya hukum di Aceh kembali pada rohnya: sebagai pelindung rakyat, penegak keadilan, dan jembatan menuju kesejahteraan sejati.
“Hukum yang adil bukan hanya menghukum yang bersalah, tetapi juga menyejahterakan yang benar.”