Rumah tangga adalah institusi sosial terkecil sekaligus terpenting dalam membangun peradaban sebuah bangsa. Ketahanan sebuah bangsa sesungguhnya dimulai dari ketahanan rumah tangga. Ketika rumah tangga sehat, harmonis, dan kuat menghadapi berbagai tantangan zaman, maka masyarakat akan stabil, anak-anak tumbuh dalam lingkungan penuh kasih sayang, dan generasi yang dilahirkan memiliki mentalitas tangguh.
Namun, memasuki era digital abad ke-21, ketahanan rumah tangga menghadapi ujian yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Kehadiran teknologi informasi, media sosial, dan dunia digital telah mengubah pola relasi antar individu, termasuk relasi suami istri dan keluarga secara keseluruhan.
Dalam konteks ini, ancaman terhadap ketahanan keharmonisan rumah tangga tidak lagi hadir dalam bentuk konvensional seperti perselingkuhan fisik atau masalah ekonomi semata, tetapi juga dalam bentuk godaan-godaan digital, ilusi kebahagiaan di media sosial, krisis komunikasi, hingga benturan nilai akibat derasnya informasi tanpa batas.
Tulisan ini mencoba menggambarkan bagaimana rumah tangga hari ini diuji dalam berbagai dimensi di era digital, menguraikan ancaman-ancaman nyata yang kerap tak disadari, serta menawarkan solusi berbasis literasi digital, nilai agama, dan budaya lokal sebagai benteng pertahanan.
Era Digital: Kemudahan yang Menyimpan Ancaman
Internet dan media sosial memang memberikan berbagai kemudahan dalam aktivitas manusia. Dalam konteks rumah tangga, pasangan yang berjauhan dapat tetap berkomunikasi, berbagi kabar, bahkan video call kapan saja. Pasangan suami istri bisa merayakan momen penting meski berbeda lokasi, menyaksikan tumbuh kembang anak dari kejauhan, atau merencanakan masa depan lewat aplikasi bersama.
Namun di balik kemudahan itu, hadir pula ancaman tersembunyi. Salah satunya adalah "virtual infidelity" atau perselingkuhan di dunia maya. Banyak kasus perceraian terjadi akibat intensitas komunikasi dengan lawan jenis melalui media sosial yang bermula dari sekadar candaan, hingga berujung pada hubungan emosional dan seksual secara virtual.
Laporan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) beberapa tahun terakhir mencatat peningkatan angka perselisihan rumah tangga yang dipicu oleh media sosial. Bahkan, dalam survei Asosiasi Psikologi Klinis Indonesia tahun 2023, disebutkan sekitar 36% pasangan muda di Indonesia mengalami konflik akibat kecemburuan virtual dan interaksi berlebihan di media sosial.
Tidak hanya soal godaan perselingkuhan, tetapi media sosial juga kerap memicu konflik psikologis dalam rumah tangga. Pasangan suami istri mulai membandingkan kehidupannya dengan pasangan lain yang menampilkan kebahagiaan semu di media sosial. Konten tentang hadiah mewah, liburan romantis, kemesraan pasangan selebriti atau public figure menjadi standar baru kebahagiaan yang kerap membuat pasangan merasa kurang, kecewa, bahkan depresi.
Ketahanan Keluarga dalam Ancaman Nonfisik
Ketahanan rumah tangga di era digital tak lagi hanya diuji oleh faktor fisik seperti keterbatasan ekonomi, ketidakhadiran pasangan, atau konflik mertua, tetapi lebih kompleks karena bersinggungan dengan aspek emosional dan digital.
Beberapa ancaman nonfisik terhadap ketahanan rumah tangga di antaranya:
1. Virtual Infidelity Interaksi intens dengan lawan jenis di media sosial tanpa kontrol seringkali memunculkan keterikatan emosional di luar pasangan sah. Meski tanpa hubungan fisik, keterikatan virtual ini tetap berpotensi merusak hubungan suami istri.
2. Kecanduan Gawai Pasangan yang sibuk dengan gawainya masing-masing seringkali melupakan komunikasi langsung. Waktu makan malam yang seharusnya jadi ruang berbagi cerita, justru habis untuk scrolling media sosial. Perlahan, hubungan menjadi hambar dan renggang.
3. Krisis Kepercayaan Password media sosial, akses ke ponsel pasangan, dan unggahan di akun pribadi kerap menjadi sumber kecurigaan. Beberapa rumah tangga pecah akibat salah paham tentang interaksi digital.
4. Ilusi Kebahagiaan Media Sosial Pasangan yang terlalu sering melihat unggahan kehidupan rumah tangga orang lain bisa terjebak dalam persepsi bahwa rumah tangganya tidak bahagia, tanpa menyadari bahwa yang ditampilkan di media sosial hanya fragmen kehidupan.
5. Eksploitasi Privasi Rumah Tangga Tidak sedikit pasangan yang secara tidak bijak mengunggah aib rumah tangga di media sosial, baik berupa status, video, maupun komentar di akun publik. Hal ini memperburuk konflik dan mengundang campur tangan orang luar.
Agama dan Budaya: Benteng yang Teruji Zaman
Di tengah ancaman era digital, nilai-nilai agama tetap menjadi benteng kokoh ketahanan rumah tangga. Islam, misalnya, sejak 14 abad silam telah mengajarkan pentingnya menjaga pandangan, mengendalikan diri dari interaksi berlebihan dengan lawan jenis, serta menjunjung adab dalam menjaga rahasia rumah tangga.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah dia berkata baik atau diam."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini relevan untuk diterapkan di media sosial. Suami istri sebaiknya hanya menampilkan hal yang baik tentang rumah tangganya atau memilih diam daripada membuka aib di ruang digital.
Demikian pula, dalam budaya Aceh dikenal konsep Peutua Adat, yakni nasihat-nasihat bijak bagi pasangan pengantin baru tentang menjaga kehormatan rumah tangga, tidak membuka aib ke orang lain, serta pentingnya menyelesaikan masalah melalui musyawarah keluarga. Nilai-nilai ini dapat diadaptasi untuk membentengi pasangan dari godaan digital.
Literasi Digital Sebagai Solusi Modern
Literasi digital bukan sekadar kemampuan menggunakan aplikasi dan perangkat, tetapi lebih jauh adalah kemampuan memilah informasi, memahami etika bermedia sosial, serta mengontrol diri dalam interaksi digital.
Setiap pasangan perlu memiliki kesepakatan moral tentang:
Batas interaksi dengan lawan jenis di media sosial.
Privasi akun dan ponsel masing-masing tanpa menghilangkan kepercayaan.
Tidak mengumbar masalah rumah tangga di media sosial.
Tidak membandingkan kehidupan rumah tangga sendiri dengan orang lain di dunia maya.
Mengatur waktu bermain gawai agar tidak mengganggu komunikasi keluarga.
Penting pula adanya edukasi tentang bahaya konten negatif seperti pornografi, judi online, dan konten yang memicu gaya hidup hedonis. Orang tua juga harus membangun budaya digital positif di rumah agar anak-anak tidak ikut terjebak dalam pola konsumsi digital yang buruk.
Revitalisasi Ruang Komunikasi Keluarga
Di era digital ini, banyak rumah tangga kehilangan waktu berkualitas karena gadget. Oleh karena itu, pasangan suami istri harus membangun kembali ruang komunikasi tatap muka tanpa distraksi gawai.
Beberapa cara yang bisa dilakukan:
Makan malam tanpa gawai minimal 3 kali seminggu.
Momen weekend tanpa media sosial untuk diisi dengan aktivitas keluarga.
Dialog keluarga setiap bulan tentang penggunaan media sosial yang sehat.
Membuat kode etik digital dalam keluarga.
Menjaga Rumah Tangga di Dua Dunia
Ketahanan rumah tangga di era digital menuntut kesiapan menghadapi dua dunia sekaligus: dunia nyata dan dunia maya. Keduanya sama-sama memiliki potensi membahagiakan sekaligus menghancurkan.
Pasangan suami istri harus menjadi sahabat, mitra, dan pengingat satu sama lain dalam bermedia sosial. Jangan sampai kemajuan teknologi yang seharusnya menjadi alat bantu kehidupan justru menjadi penyebab kehancuran hubungan.
Sudah saatnya ketahanan rumah tangga tidak hanya diukur dari ketahanan ekonomi atau jumlah anak, tetapi juga dari ketangguhan moral dan literasi digital.
Karena ancaman rumah tangga di era ini tidak selalu datang dari orang ketiga yang nyata, melainkan dari notifikasi chat, like, dan interaksi virtual yang tak terlihat, tetapi mampu mengikis keharmonisan jika tidak dikendalikan.
Penulis Azhari advokat