Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Konsep Poligami dalam Qanun Hukum Keluarga di Aceh: Antara Nyata atau Mimpi

Rabu, 09 Juli 2025 | 01:14 WIB Last Updated 2025-07-08T18:14:42Z


 


Aceh, sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan hukum Islam secara formal melalui Qanun, memiliki sejumlah ketentuan khusus terkait kehidupan bermasyarakat, termasuk soal pernikahan. Salah satunya adalah Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Keluarga, yang di dalamnya memuat pengaturan tentang pernikahan, perceraian, hingga poligami.

Namun, dalam praktiknya, konsep poligami di Aceh masih terjebak di antara teks hukum yang ideal dengan realita sosial yang penuh kompromi. Apakah aturan ini benar-benar ditegakkan sesuai cita-cita syariat, atau hanya sekadar menjadi formalitas mimpi yang jauh dari kenyataan? Inilah yang patut kita cermati bersama.

Qanun dan Aturan Poligami di Aceh

Secara normatif, Qanun Hukum Keluarga Aceh memperbolehkan poligami dengan syarat ketat, sejalan dengan prinsip dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 dan syariat Islam. Beberapa syaratnya antara lain:

  • Suami harus mampu berlaku adil lahir dan batin.
  • Ada alasan kuat seperti istri tidak bisa melayani kewajiban suami, tidak bisa memberikan keturunan, atau mengalami cacat fisik/penyakit berat.
  • Mendapatkan izin istri pertama.
  • Mendapat persetujuan dari Mahkamah Syar’iyah.

Di atas kertas, aturan ini tampak sempurna, mengakomodir hak perempuan, membatasi ruang poligami serampangan, sekaligus memberi jaminan hukum bagi perempuan yang dipoligami. Tapi apakah aturan ini benar-benar berjalan di lapangan?

Antara Konsep Ideal dan Kenyataan Sosial

Di banyak desa dan kecamatan di Aceh, praktik poligami masih berlangsung secara diam-diam, tanpa izin istri pertama, tanpa restu pengadilan, bahkan tanpa administrasi resmi. Banyak kasus suami menikah lagi dengan hanya berbekal restu tokoh kampung, tanpa legalitas Mahkamah Syar’iyah. Ini jelas bertentangan dengan Qanun, tapi tetap terjadi, didukung oleh budaya patriarki dan kompromi adat yang longgar.

Sementara itu, di ranah hukum formal, izin poligami di Mahkamah Syar’iyah sangat ketat dan jarang diberikan, sebab mayoritas istri pertama pasti menolak, dan pengadilan mensyaratkan bukti kuat soal alasan poligami. Akibatnya, poligami sering dipaksakan lewat jalur informal.

Inilah titik krisis antara hukum ideal dan praktik sosial di Aceh. Qanun seolah menjadi kitab suci hukum keluarga, tapi implementasinya masih jauh panggang dari api.

Realita Ketimpangan Perlindungan Perempuan

Meski Qanun menjamin hak perempuan, faktanya banyak istri yang menjadi korban poligami sepihak. Tidak jarang, setelah suami menikah lagi diam-diam, istri pertama tidak mendapatkan nafkah layak, perhatian, bahkan hak moral dalam rumah tangga. Ada pula kasus istri pertama diceraikan sepihak setelah suami punya istri muda.

Seharusnya, Mahkamah Syar’iyah bisa menjadi benteng keadilan perempuan. Sayangnya, lemahnya keberanian perempuan Aceh untuk melapor, takut stigma masyarakat, dan terbatasnya akses hukum, membuat banyak pelanggaran Qanun tentang poligami tak pernah sampai ke meja pengadilan.

Antara Syariat dan Kepentingan Lelaki

Perlu diakui, poligami di Aceh kerap dijadikan alat pembenaran nafsu laki-laki ketimbang solusi syariat. Dalih “sunnah Rasul” sering digunakan tanpa keadilan lahir batin. Padahal, keadilan itulah syarat utama poligami dalam Islam.

Banyak lelaki merasa cukup dengan memberi nafkah materi, lalu mengabaikan keadilan batin, hati, dan moral di antara istri-istrinya. Sementara perempuan sering dipaksa diam atas nama adat dan agama. Inilah fakta sosial yang berseberangan dengan semangat Qanun Hukum Keluarga Aceh.

Lalu, Nyata atau Mimpi?

Kalau bicara teks hukum, konsep poligami di Qanun Aceh sangat progresif. Ia bukan sekadar menyalin syariat, tapi juga melindungi hak-hak perempuan secara spesifik: soal izin istri pertama, pengawasan pengadilan, hak nafkah anak-anak, hingga hak waris. Secara ideal, Qanun ini bisa menjadi model hukum keluarga Islam di Indonesia.

Tapi jika bicara pelaksanaan, kita masih jauh. Sebagian pejabat adat dan agama masih menolerir poligami tanpa izin, sebagian lelaki memanfaatkan celah hukum dan kultur patriarki, sementara perempuan Aceh masih banyak yang pasrah karena takut stigma “melawan suami berarti melawan agama”.

Qanun berjalan di teks, masyarakat berjalan di adat, dan hukum positif berjalan di ruang sidang. Mereka belum sepenuhnya menyatu.

Penutup: Saatnya Menguji Nyali Penegakan Hukum

Aceh seharusnya tidak sekadar bangga dengan label “Serambi Mekkah” dan syariat Islam formal. Syariat harus membela keadilan, bukan hanya kepentingan. Qanun tentang poligami sudah baik di atas kertas, tapi lemah di lapangan. Jika Mahkamah Syar’iyah dan instansi terkait tak berani tegas, Qanun akan tinggal jadi mimpi indah tanpa daya paksa.

Begitu juga perempuan Aceh, harus berani memahami dan memperjuangkan haknya yang dilindungi syariat. Tidak berarti anti-poligami, tapi memperjuangkan keadilan, keadaban, dan kehormatan rumah tangga sesuai syariat.

Karena syariat tanpa keadilan adalah ketidakadilan yang dibungkus agama. Dan poligami tanpa etika sosial hanya akan menjadi kerusakan yang mengatasnamakan ibadah.