:
Di tengah dinamika masyarakat Indonesia, praktik pernikahan siri masih marak terjadi. Secara hukum agama, pernikahan siri dianggap sah bila memenuhi syarat dan rukun nikah, namun karena tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) atau Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, pernikahan ini tidak memiliki kekuatan hukum administrasi negara.
Masalah baru muncul ketika dari pernikahan siri itu lahir anak. Posisi anak hasil nikah siri dalam administrasi hukum Indonesia berada dalam situasi dilematis. Mereka diakui secara biologis, namun kerap mengalami hambatan dalam pengurusan dokumen hukum, hak perdata, hingga pengakuan waris.
Inilah yang perlu menjadi perhatian serius. Sebab, anak tidak pernah meminta dilahirkan dari pernikahan tanpa pencatatan. Negara wajib hadir memberikan perlindungan hukum dan hak administrasi kepada anak-anak hasil nikah siri tanpa harus menabrak norma hukum yang berlaku.
Anak Nikah Siri dan Posisi Hukumnya
Secara normatif, Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa setiap perkawinan harus dicatatkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika tidak, maka perkawinan itu dianggap tidak sah menurut negara, meskipun sah secara agama.
Akibatnya, anak yang lahir dari pernikahan siri menghadapi sejumlah hambatan:
- Kesulitan memperoleh akta kelahiran atas nama kedua orang tua.
- Hak warisnya sering kali dipersulit.
- Status hukum administrasinya rentan, apalagi bila orang tua berpisah.
- Sulit dalam pengurusan identitas resmi dan hak perdata lainnya.
Meski demikian, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 telah membuka jalan baru. MK menyatakan bahwa anak di luar nikah berhak memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya sepanjang dapat dibuktikan secara ilmiah dan/atau alat bukti lain. Ini menjadi rintisan penting dalam memperbaiki posisi anak nikah siri di Indonesia.
Administrasi Hukum yang Masih Rumit
Faktanya, meski MK telah memutuskan demikian, implementasi di lapangan masih belum optimal. Banyak anak nikah siri tetap kesulitan mendapatkan akta kelahiran yang mencantumkan nama ayah biologisnya, kecuali ada pengakuan resmi dari pihak ayah, atau melalui penetapan pengadilan.
Prosedur itu sering memakan waktu, biaya, bahkan menghadapi penolakan keluarga. Belum lagi stigma sosial terhadap anak hasil nikah siri di banyak daerah masih tinggi, sehingga proses administrasi sering dihambat, baik di tingkat kelurahan, kecamatan, maupun catatan sipil.
Dampak Sosial dan Hukum
Ketidakjelasan status administrasi anak hasil nikah siri berdampak serius:
-
Terganggunya hak pendidikan: karena sebagian sekolah atau beasiswa mensyaratkan akta kelahiran dengan orang tua lengkap.
-
Persoalan perwalian: bila orang tua berpisah, posisi anak sulit ditentukan hak asuhnya di pengadilan.
-
Keterbatasan hak waris: meski ada putusan MK, secara praktik warisan dari pihak ayah sering kali diabaikan.
-
Stigma sosial: anak kerap menjadi korban diskriminasi karena status hukum orang tuanya.
Mengapa Negara Harus Hadir?
Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28B UUD 1945, setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Maka, negara harus berani membuat kebijakan khusus terkait administrasi anak hasil nikah siri, tanpa harus melegalkan praktik pernikahan tanpa pencatatan.
Prinsipnya sederhana: melindungi anak tanpa memihak pada kesalahan orang tua. Karena anak lahir dalam keadaan fitrah, dan tidak layak menanggung risiko sosial maupun administratif akibat kelalaian orang dewasa.
Alternatif Solusi Hukum
Ada beberapa langkah hukum yang bisa menjadi rintisan perbaikan:
-
Memperluas sosialisasi putusan MK 46/PUU-VIII/2010 hingga ke tingkat desa dan kelurahan, agar aparat memahami hak anak secara hukum.
-
Menyederhanakan prosedur penetapan pengadilan untuk mengesahkan status anak hasil nikah siri tanpa birokrasi yang berbelit.
-
Mendorong adanya regulasi turunan dari UU Administrasi Kependudukan yang lebih berpihak pada anak.
-
Mengedukasi masyarakat tentang pentingnya pencatatan perkawinan demi masa depan anak.
-
Memberikan kemudahan pembuatan akta kelahiran berdasarkan bukti medis kelahiran dan pengakuan sepihak ibu, meskipun tanpa kehadiran ayah, demi memenuhi hak dasar anak.
Penutup: Anak Tidak Bisa Memilih, Negara Harus Melindungi
Pernikahan siri mungkin menjadi pilihan sebagian orang atas dasar agama atau adat, namun konsekuensinya tidak boleh ditanggung anak. Negara wajib hadir memastikan bahwa anak, apapun status hukum orang tuanya, berhak mendapatkan pengakuan administrasi, perlindungan hukum, pendidikan, dan hak sosial tanpa diskriminasi.
Rintisan hukum dari putusan MK perlu diperluas implementasinya ke ranah administrasi dan pelayanan publik. Jangan biarkan anak-anak Indonesia tumbuh dengan identitas hukum yang tidak jelas, karena di mata agama dan kemanusiaan, mereka punya hak hidup dan hak yang sama di hadapan hukum.
Karena hukum yang beradab bukan hanya melindungi yang kuat, tapi lebih berpihak pada yang lemah. Dan anak-anak hasil nikah siri adalah golongan yang wajib kita bela.
Penulis Azhari