Perceraian bukan sekadar perpisahan antara dua orang dewasa. Ia adalah badai yang menghantam jiwa anak, mengubah dunianya, dan meninggalkan jejak yang tak kasatmata namun sangat dalam. Di balik putusan hakim dan lembaran akta cerai, ada tangisan yang tak terdengar, ada pertanyaan yang tak terjawab, dan ada luka batin yang tak mudah disembuhkan: luka psikologi anak pasca perceraian.
Anak Bukan Hanya “Korban”, Tapi Juga Pewaris Luka
Ketika rumah tangga retak, yang paling merasakan dampaknya adalah anak. Dunia yang mereka kenal — ayah, ibu, dan rumah yang utuh — tiba-tiba terbelah dua. Anak sering kali tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mereka hanya merasakan perubahan: ayah jarang pulang, ibu sering menangis, suasana rumah jadi tegang. Ketika perceraian terjadi, anak bisa merasa ditinggalkan oleh salah satu orang tua, atau merasa harus memilih di antara dua pihak yang seharusnya sama-sama mencintainya.
Dampak Psikologi yang Tak Ringan
Secara psikologis, anak-anak yang mengalami perceraian orang tuanya sering menunjukkan gejala seperti:
- Kecemasan dan rasa tidak aman: Anak bisa merasa takut ditinggalkan, atau merasa bahwa kasih sayang orang tua bersyarat.
- Menurunnya prestasi akademik: Konsentrasi belajar terganggu karena pikiran bercabang pada masalah keluarga.
- Perilaku agresif atau menarik diri: Ada yang menjadi temperamental, ada yang justru menjadi pendiam dan menyimpan luka sendiri.
- Masalah kepercayaan dalam hubungan sosial: Anak yang kehilangan contoh rumah tangga sehat bisa tumbuh dengan ketakutan membangun hubungan di masa depan.
Faktor Pemicu: Bukan Perceraian, Tapi Cara Orang Tua Menanganinya
Perlu dicatat, bukan perceraian itu sendiri yang menjadi “masalah utama” bagi anak, tetapi bagaimana orang tua menanganinya. Jika proses perceraian disertai pertengkaran terbuka, saling menjatuhkan, menghasut anak agar membenci salah satu pihak, maka luka anak akan semakin dalam. Sebaliknya, jika orang tua tetap menjaga komunikasi dan memperlakukan anak dengan penuh kasih, efek buruk dapat diminimalkan.
Peran Negara dan Masyarakat
Negara harus hadir bukan hanya dalam memproses perceraian secara hukum, tapi juga menjamin kesehatan mental anak-anak yang terdampak. Layanan konseling keluarga, edukasi tentang co-parenting, hingga pendampingan psikolog anak di sekolah-sekolah harus menjadi bagian dari sistem sosial yang kuat.
Masyarakat juga tak boleh bersikap menghakimi. Stigma terhadap anak korban perceraian sering memperburuk keadaannya. Padahal, mereka bukan anak yang “kurang ajar” atau “bermasalah”, tapi mereka adalah anak yang sedang terluka.
Jalan Pulang: Kesadaran dan Kasih Sayang
Pasca perceraian, orang tua harus menyadari bahwa hubungan suami-istri mungkin sudah selesai, tapi hubungan sebagai ayah dan ibu tidak akan pernah putus. Anak butuh kehadiran keduanya, bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional. Jangan jadikan anak sebagai “senjata” dalam pertikaian, tapi jadikan dia sebagai alasan untuk tetap bersikap dewasa dan bertanggung jawab.
Kasih sayang, komunikasi yang sehat, dan keterbukaan adalah kunci utama. Bila perlu, libatkan ahli psikologi anak untuk mendampingi mereka melewati fase sulit ini.
Perceraian bisa menjadi akhir dari sebuah ikatan, tapi bukan akhir dari cinta orang tua pada anak. Psikologi anak pasca perceraian adalah tanggung jawab kita bersama — orang tua, pendidik, masyarakat, dan negara. Jangan biarkan mereka tumbuh dengan luka yang tak terobati. Karena di pundak mereka, masa depan bangsa ini digantungkan.
Karena luka di masa kecil, jika tak disembuhkan, akan menjelma menjadi trauma di masa depan.