Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Anak Korban Perceraian dan Tanggung Jawab Ayah dalam Pendidikan

Kamis, 24 Juli 2025 | 12:26 WIB Last Updated 2025-07-24T05:26:37Z


Perceraian bukan hanya tentang dua orang dewasa yang memilih jalan hidup masing-masing, melainkan juga tentang nasib anak-anak yang sering kali menjadi korban tanpa suara. Di tengah pusaran emosi dan konflik orang tua, anak menjadi pihak yang paling terdampak secara psikologis, sosial, dan pendidikan. Dalam kondisi ini, tanggung jawab ayah terhadap pendidikan anak tidak boleh luntur atau diabaikan, meskipun hubungan pernikahan telah berakhir.

Anak Bukan Produk Perceraian

Penting untuk dipahami bahwa anak bukanlah “produk” dari perceraian yang bisa dibagi haknya sesuka hati. Mereka adalah manusia utuh yang berhak mendapat cinta, kasih sayang, dan terutama pendidikan yang layak dari kedua orang tuanya. Ketika perceraian terjadi, sebagian besar tanggung jawab pengasuhan sering jatuh kepada ibu. Namun, ini tidak menghapus tanggung jawab ayah, terutama dalam hal pendidikan—baik secara finansial maupun moral.

Tanggung Jawab Ayah Tidak Berakhir di Meja Perceraian

Secara hukum maupun moral, perceraian tidak menghapus kewajiban seorang ayah terhadap anaknya. Undang-Undang Perlindungan Anak di Indonesia (UU No. 23 Tahun 2002, yang telah diperbarui) menegaskan bahwa orang tua, baik ayah maupun ibu, tetap bertanggung jawab atas pengasuhan dan pendidikan anak, bahkan setelah perceraian.

Tanggung jawab ini bukan hanya dalam bentuk biaya sekolah, melainkan juga dalam bimbingan moral, akhlak, dan nilai-nilai kehidupan. Ayah harus tetap hadir secara emosional dan spiritual. Pendidikan karakter tidak hanya diperoleh di bangku sekolah, tetapi juga dari teladan orang tua.

Dampak Ketidakhadiran Ayah dalam Pendidikan Anak

Anak yang tumbuh tanpa keterlibatan ayah setelah perceraian cenderung mengalami krisis identitas, kesulitan dalam prestasi akademik, bahkan risiko perilaku menyimpang lebih tinggi. Banyak anak korban perceraian yang merasa ditinggalkan, lalu mencari pelarian ke dalam pergaulan bebas, narkoba, atau mengalami gangguan emosional yang berkepanjangan.

Di sinilah peran ayah menjadi sangat krusial. Ketidakhadiran bukan hanya soal fisik, tetapi juga soal tidak peduli. Dan ketidakpedulian itu bisa melukai lebih dalam daripada perpisahan itu sendiri.

Membangun Komitmen Ayah Pasca-Perceraian

Masyarakat, lembaga agama, dan negara perlu mendorong ayah-ayah pasca-cerai untuk tidak menjauh dari peran pengasuh dan pendidik. Komunikasi yang sehat antara mantan pasangan demi kepentingan anak harus dibangun. Di sisi lain, ayah juga harus menyadari bahwa keberadaan mereka tidak dapat digantikan oleh siapa pun.

Ayah yang sadar akan tanggung jawabnya akan tetap membimbing anak, menjadi pelindung, tempat bertanya, dan penyemangat hidup. Bahkan jika rumah tangga telah runtuh, nilai-nilai luhur sebagai ayah sejati tetap bisa ditegakkan.


Perceraian bukan alasan untuk melepaskan diri dari tanggung jawab. Terutama untuk seorang ayah, pendidikan anak adalah tanggung jawab seumur hidup. Anak-anak korban perceraian membutuhkan lebih banyak cinta, perhatian, dan bimbingan, bukan justru kehilangan sosok ayah dalam masa pertumbuhan mereka. Jangan sampai perceraian merenggut masa depan anak hanya karena ayah menganggap dirinya telah “bebas” dari tanggung jawab setelah ikatan suami istri putus.

Karena dalam setiap anak, tetap ada harapan dan hak untuk tumbuh dengan bimbingan penuh dari kedua orang tuanya—tak peduli apakah mereka masih bersama atau tidak.