Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Nak, Jangan Hilangkan Kuburan Ibu di Mata Anakmu

Kamis, 24 Juli 2025 | 00:54 WIB Last Updated 2025-07-23T17:54:14Z

Nak, Jangan Hilangkan Kuburan Ibu di Mata Anakmu



Oleh: Azhari dosen UIA Aceh 


Di tengah kemajuan zaman dan arus modernisasi, ada satu hal yang pelan-pelan mulai menghilang dari kesadaran generasi: kenangan suci tentang orang tua yang telah tiada. Banyak anak yang tumbuh tanpa tahu di mana pusara neneknya. Banyak cucu yang tak pernah diajak ziarah ke makam orang tua ayah atau ibunya. Bahkan lebih parah lagi, ada anak yang sengaja menjual tanah warisan—tanah yang di dalamnya ada kuburan ibunya sendiri.

Lalu, jika pusara ibu tak lagi dikenal, apa yang akan dikenang oleh generasi selanjutnya?
Jika kuburan ibu tidak lagi ada dalam cerita dan pandangan anak-anak kita, di manakah letak cinta dan hormat itu diwariskan?


Kuburan Ibu Bukan Sekadar Tanah, Ia Adalah Jejak Cinta

Kuburan ibu bukan sekadar sebidang tanah dengan nisan. Ia adalah saksi abadi bahwa pernah ada cinta yang melahirkan, membesarkan, dan mengorbankan segalanya untuk kita. Ketika kita kehilangan arah hidup, tempat itu menjadi pengingat. Ketika kita keras kepala dan sombong, ziarah ke kubur ibu bisa melunakkan hati kita.

Namun hari ini, banyak di antara kita yang lupa. Kuburan ibu tak lagi diziarahi. Bahkan ada yang membiarkannya hilang tertimbun bangunan, atau dijual ke orang lain tanpa pertimbangan batin. Anak-anak kita tumbuh hanya mengenal gedung, mall, dan taman bermain, tanpa pernah diajak bersujud di hadapan nisan orang yang membuat kita ada.


Jangan Biarkan Generasi Lupa Wajah Perjuangan

Anak kita tak akan kenal siapa neneknya jika kita tak pernah menunjukkan pusaranya. Mereka tak akan tahu bahwa di bawah tanah itu, ada jasad perempuan yang dulu menangis saat menggendong ayah mereka. Di bawah tanah itu, terkubur cinta yang tak pernah ditulis, tapi dirasakan. Dan jika itu hilang, maka generasi kita telah kehilangan akar.

Kita ajarkan anak-anak doa sebelum makan, itu baik. Kita ajarkan anak-anak membaca Qur'an, itu mulia. Tapi jangan lupa mengajarkan mereka mengirim doa kepada orang yang telah mendahului kita. Jangan sampai mereka hanya tahu cara merayakan ulang tahun, tapi tak tahu bagaimana menangis dan mendoakan orang yang telah tiada.


Merawat Pusara, Merawat Hati

Merawat kuburan ibu bukan hanya soal fisik—membersihkan rumput, mengecat nisan. Tapi juga soal merawat hati dan warisan spiritual. Dengan berziarah, kita mengingat bahwa hidup ini singkat. Dengan mengajak anak ke makam ibu, kita mengajari mereka tentang asal, tentang bakti, dan tentang cinta yang tak pernah putus.

Ziarah bukan bid’ah. Ia adalah sunnah penuh makna. Bahkan Rasulullah SAW sendiri menangis di kuburan ibunya. Maka, jika Nabi saja ziarah ke makam orang tuanya, siapa kita yang menganggapnya tak penting?


Penutup: Nak, Ingatlah Darah Dagingmu

Wahai anakku, kelak kau akan menjadi ayah. Dan aku akan jadi kenangan. Tapi jika kau benar-benar menyayangiku, jangan hilangkan pusaraku dari pandangan anakmu.
Ajarkan ia untuk datang ke sana. Ajarkan ia untuk duduk, menangis, dan mengirim doa. Karena doa dari cucu, bisa menjadi cahaya di alam kubur neneknya. Dan ziarah itu akan menjaga jalinan cinta lintas generasi.

"Nak, jika suatu saat aku sudah tiada, jangan sekadar mengenang wajahku dari foto. Datanglah ke pusaraku. Doakan aku. Dan bawa anak-anakmu. Agar mereka tahu, bahwa kau dulu pernah punya ibu yang mencintaimu sepenuh jiwa."


Karena cinta tak boleh putus di dunia. Ia harus terus mengalir hingga ke akhirat. Maka, jangan pernah hilangkan kuburan ibu di mata anakmu.