Aceh dikenal sebagai Serambi Mekkah, sebuah identitas yang terikat kuat pada nilai-nilai Islam dan adat istiadat. Dalam bentangan sejarahnya, Aceh adalah negeri yang tidak hanya tangguh dalam menghadapi kolonialisme, tetapi juga unggul dalam ilmu pengetahuan, diplomasi, dan peradaban. Namun, seiring bergulirnya waktu, kita perlu merenungi: bagaimana rasionalitas hidup berdampingan dengan nilai-nilai peradaban di tengah masyarakat Aceh masa kini?
Rasionalitas: Pilar Peradaban
Peradaban tidak bisa tumbuh dalam ruang kosong. Ia tumbuh di atas fondasi berpikir rasional—kemampuan untuk menimbang sebab-akibat, mengambil keputusan berdasarkan ilmu, bukan prasangka, dan menjunjung logika di atas emosi sesaat. Sejarah mencatat, peradaban Aceh klasik sangat menghargai ilmu. Lihat saja naskah-naskah kuno di Dayah, pemikiran Syaikh Abdurrauf Singkil, hingga hubungan diplomatik Aceh dengan Turki Utsmani dan Maroko. Semua itu adalah bukti bahwa Aceh dahulu sangat rasional dalam membangun peradabannya.
Namun kini, tantangan rasionalitas di Aceh justru datang dari dalam. Di tengah derasnya gelombang informasi digital dan pengaruh politik, banyak keputusan masyarakat justru dipenuhi asumsi, takhayul, dan penggiringan emosi massal tanpa dasar yang kokoh.
Ketegangan antara Rasional dan Tradisional
Masyarakat Aceh dihadapkan pada dilema: antara mempertahankan nilai-nilai tradisi dan agama, dengan kebutuhan untuk bersikap rasional dalam menghadapi tantangan modern. Tak jarang, sikap kritis dan ilmiah dianggap melawan adat, padahal keduanya bisa berdampingan. Justru rasionalitas dapat menjadi alat untuk memperkuat tradisi agar relevan di zaman ini.
Misalnya dalam dunia pendidikan, pemikiran rasional sering tersisih oleh sistem yang kaku dan doktriner. Padahal, kurikulum yang membuka ruang berpikir kritis akan melahirkan generasi yang tidak hanya taat, tetapi juga cerdas dalam menafsirkan realitas.
Peran Ulama dan Cendekiawan
Aceh membutuhkan ulama dan intelektual yang mampu menjembatani nilai-nilai keislaman dan rasionalitas. Mereka bukan hanya menjadi pengajar ilmu agama, tetapi juga pelita dalam kegelapan disinformasi dan fanatisme sempit. Ulama dahulu mampu menulis kitab, berdiplomasi, mengelola keuangan negara, dan mengatur hukum—semua dengan pendekatan ilmiah dan rasional.
Kini, kita perlu menumbuhkan kembali generasi ulama-cendekia yang tidak alergi dengan sains, statistik, atau logika hukum. Ulama yang bisa berbicara dalam bahasa akademik dan moral sekaligus, sehingga peradaban Aceh kembali bangkit dalam kerangka yang rasional dan luhur.
Menanamkan Rasionalitas di Tengah Masyarakat
Rasionalitas harus ditanamkan sejak dini. Pendidikan di rumah, di sekolah, dan di dayah harus membuka ruang dialog, diskusi terbuka, dan berpikir kritis. Masyarakat perlu dilatih untuk tidak mudah percaya pada berita bohong, takhayul, atau pengaruh politik identitas yang sempit. Pemimpin daerah juga harus menjadi contoh: mengambil kebijakan berdasarkan data, bukan tekanan emosi atau popularitas sesaat.
Peradaban Aceh tidak akan tumbuh dari fanatisme buta atau kebanggaan kosong pada masa lalu. Ia hanya bisa bangkit jika masyarakatnya bersikap rasional: mau belajar, terbuka terhadap kritik, dan menjunjung ilmu pengetahuan. Rasionalitas bukan ancaman bagi agama atau adat, tetapi justru pilar penting dalam membangun peradaban yang kokoh.
Aceh harus memilih: tetap dalam nostalgia masa lalu, atau melangkah maju dengan peradaban yang rasional dan berdaya saing tinggi. Masa depan ada di tangan kita semua.