Saatnya Qanun Jinayah Digital: Aceh Bersyariat, Jangan Biarkan Aurat Dijadikan Konten
Oleh: Azhari
Aceh dikenal sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan syariat Islam secara formal melalui Qanun. Sejak diberlakukan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), Aceh mendapat keistimewaan dalam bidang hukum, agama, dan adat istiadat. Namun, di tengah arus deras digitalisasi, muncul tantangan baru yang perlu segera direspons: maraknya pelanggaran syariat di ruang digital, khususnya lewat konten media sosial seperti TikTok, Instagram, dan Facebook.
Fenomena anak muda Aceh—bahkan mereka yang mengaku sebagai bagian dari komunitas syariah—memamerkan aurat dan perilaku tidak pantas di TikTok sudah menjadi hal yang memprihatinkan. Dalam satu klik, kita bisa menemukan konten goyangan vulgar, pakaian terbuka, hingga candaan bernuansa seksual dari akun yang berasal dari Aceh. Ini bukan hanya soal “kebebasan berekspresi”, tapi ini pelanggaran terhadap nilai dan semangat syariat yang kita banggakan.
Digitalisasi Tanpa Batas, Syariat Tanpa Benteng
Qanun Jinayah di Aceh saat ini sudah mengatur banyak hal, mulai dari khalwat, ikhtilat, hingga maisir dan khamar. Namun dunia digital seolah berada di luar jangkauan aturan. Padahal, perilaku membuka aurat dan mempertontonkan hal yang seharusnya menjadi privasi justru lebih masif dan terbuka di media sosial.
Syariat Islam tidak hanya berlaku di masjid atau pasar, tapi juga di jagat maya. Maka sudah saatnya Aceh memiliki Qanun Jinayah Digital—sebuah regulasi syariah yang mengatur perilaku daring umat Islam di Aceh. Qanun ini bukan untuk membatasi kreativitas, tapi menjaga moralitas. Bukan untuk mengekang kebebasan, tapi mengawal kehormatan.
Tanggung Jawab Negara dan Ulama
Negara tidak boleh buta terhadap perkembangan zaman. Jika pemerintah Aceh lambat menyusun regulasi digital berbasis syariat, maka Aceh hanya akan menjadi simbol kosong dari cita-cita Islam kaffah. Ulama dan akademisi perlu bersuara lantang untuk mendorong DPRA menyusun qanun ini dengan serius dan partisipatif.
Tentu, qanun ini tidak serta-merta menghukum siapa pun yang bersalah. Namun harus dilandasi dengan pendidikan, peringatan, hingga proses hukum yang adil. Kita tidak sedang mencari kambing hitam, tapi membangun generasi Aceh yang bermartabat secara iman dan akhlak.
Jangan Biarkan Anak-Anak Kita Menjadi Penari di Ruang Digital
Kita khawatir, jika tidak ada aturan, anak-anak kita akan tumbuh menjadi pribadi yang hanya mencari validasi dari “like” dan “follower”. Mereka menari demi sorotan, membuka aurat demi viralitas. Jika itu dibiarkan, maka syariat yang selama ini kita perjuangkan dengan darah dan air mata akan dirusak oleh jari-jemari generasi sendiri.
Kesimpulan:
Qanun Jinayah Digital bukanlah wacana futuristik, tapi kebutuhan mendesak. Pemerintah Aceh, ulama, ormas Islam, dan seluruh elemen masyarakat perlu duduk bersama menyusun aturan ini. Kita ingin generasi Aceh tumbuh dengan nilai—bukan hanya popularitas digital. Kita ingin TikTok dan Instagram menjadi tempat dakwah, bukan tempat mempertontonkan aurat. Dan kita ingin Aceh tetap menjadi Serambi Mekkah, bukan panggung kemaksiatan daring.
Jika Anda setuju dengan gagasan ini, sebarkan. Jika Anda bagian dari legislatif atau eksekutif, mari kita wujudkan. Karena menjaga kehormatan generasi adalah bagian dari jihad yang tak boleh ditunda.