Ulama Aceh Masa Lalu dan Ingatan Generasi Muda Masa Kini
Aceh, bumi yang pernah disegani di timur nusantara, bukan hanya terkenal dengan keberanian para sultan dan laskar perang, tetapi juga dihormati karena kekuatan ilmu agama yang diwariskan oleh para ulama. Di balik gemuruh meriam perang dan riuhnya diplomasi Kesultanan Aceh, berdiri kokoh sosok-sosok ulama yang bukan hanya guru, tetapi pemandu arah peradaban.
Namun kini, di tengah riuhnya dunia digital dan ingatan yang semakin kabur, generasi muda Aceh mulai kehilangan jejak para ulama itu. Nama-nama besar seperti Syeikh Abdurrauf as-Singkili, Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani, Teungku Chik di Tiro, Teungku Chik Pante Kulu, hingga Teungku Chik di Tjot Plieng, perlahan hanya tinggal cerita dalam buku sejarah, sementara ruh perjuangan dan keteladanan mereka tak lagi akrab dalam kesadaran anak muda masa kini.
Ulama: Pilar Peradaban Aceh
Sejak dahulu, ulama di Aceh tidak hanya bertugas mengajarkan fikih dan tafsir. Mereka adalah pendidik, penasihat kerajaan, panglima perang, hingga juru diplomasi. Para ulama menjadi penjaga akidah rakyat, pelurus moral penguasa, dan penguat adat istiadat.
Syeikh Abdurrauf as-Singkili misalnya, bukan saja seorang mufassir ulung yang menulis Tafsir Turjuman al-Mustafid (tafsir Al-Qur’an pertama dalam bahasa Melayu), tetapi juga penasihat spiritual Kesultanan Aceh. Ia menyatukan kekuatan agama, budaya, dan politik menjadi fondasi Aceh yang kuat di abad ke-17.
Begitu pula Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman, ulama karismatik yang memimpin perlawanan terhadap kolonial Belanda. Baginya, jihad bukan sekadar perang fisik, tetapi perjuangan untuk mempertahankan akidah, martabat, dan tanah kelahiran.
Para ulama inilah yang dahulu menjadi lampu di tengah gelap, kompas di tengah badai, dan suara hati yang tak gentar menyampaikan kebenaran meski di hadapan sultan sekalipun.
Ingatan yang Mulai Pudar
Namun kini, nama-nama besar itu kian jarang disebut. Generasi muda Aceh lebih akrab dengan nama-nama selebgram, musisi viral, dan figur maya, ketimbang membaca riwayat ulama lokalnya. Ceramah di meunasah tergantikan oleh live streaming, zikir berkurang karena scrolling, dan hikayat ulama terlupakan di antara algoritma media sosial.
Di era digital ini, tantangan bukan lagi penjajahan fisik, melainkan penjajahan memori. Ingatan kolektif tentang ulama Aceh perlahan terkikis, tergantikan oleh budaya populer yang dangkal. Padahal, tanpa ingatan akan ulama dan jejak sejarahnya, generasi muda kehilangan akar spiritual dan intelektualnya.
Mengapa Kita Harus Mengingat?
Sejarah bukan sekadar kisah, tetapi guru yang memberi pelajaran. Jika generasi muda Aceh melupakan ulama-ulama besar itu, kita kehilangan cermin untuk menilai siapa diri kita hari ini dan ke mana arah yang seharusnya dituju.
Para ulama Aceh dahulu mengajarkan keberanian bersikap, kesetiaan pada agama dan bangsa, serta ketegasan menjaga martabat ummat. Mereka bukan hanya orator di mimbar, tetapi pelaku sejarah yang memperjuangkan keadilan dan nilai kebenaran.
Bayangkan betapa kayanya Aceh jika generasi mudanya kembali mewarisi semangat intelektual Syeikh Abdurrauf as-Singkili, militansi jihad Teungku Chik di Tiro, dan kepekaan sosial Teungku Hasan Krueng Kalee. Aceh tak akan sibuk dengan perselisihan politik sempit, jika ingatan itu masih hidup.
Generasi Muda dan Tanggung Jawab Sejarah
Kini, tanggung jawab ada di tangan generasi muda. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati ulama dan pejuangnya. Di tengah kemudahan informasi, seharusnya tidak sulit bagi anak muda Aceh untuk mengenali kembali jejak para ulama mereka. Membaca karya-karya lama, ziarah ke makam-makam ulama, mempelajari hikayat-hikayat perjuangan mereka, adalah bentuk kecil penghormatan sekaligus cara menyambung kembali akar peradaban.
Lebih dari itu, semangat keberanian, keilmuan, dan keikhlasan ulama Aceh masa lalu harus menjadi inspirasi dalam menghadapi persoalan masa kini — mulai dari kemiskinan, degradasi moral, ancaman narkoba, hingga tantangan dunia digital.
Penutup
Jika dahulu para ulama Aceh menulis kitab, membangun dayah, dan memimpin perang demi mempertahankan kehormatan tanah kelahiran, maka kini saatnya generasi muda berjuang dengan pena, ide, karya, dan akhlak baik di dunia digital maupun di ranah nyata.
Karena ulama bukan hanya pewaris nabi, tetapi juga pemandu sejarah. Dan Aceh akan kehilangan arah jika generasi mudanya lupa pada pemandu itu.
Mari kita hidupkan kembali ingatan akan ulama-ulama Aceh. Sebab, hanya bangsa yang mengenang pejuang dan ulama masa lalunya yang layak memiliki masa depan.
"Bangsa yang besar bukan sekadar membangun gedung dan jalan raya, tetapi membangun ingatan, mengenang ulama, dan menjaga warisan akhlak serta keilmuan mereka."