Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Ulama Dayah Aceh: Dari Lentera Masa Lalu Menuju Tantangan Era Digital

Sabtu, 19 Juli 2025 | 23:56 WIB Last Updated 2025-07-19T16:57:11Z



Ulama Dayah Aceh: Dari Lentera Masa Lalu Menuju Tantangan Era Digital


Oleh: Azhari 

Aceh tidak hanya dikenal dengan syariat Islam dan sejarah perlawanan terhadap penjajah, tetapi juga dengan kejayaan ilmu agama yang diwariskan melalui dayah (pesantren tradisional). Ulama-ulama besar Aceh seperti Syekh Abdurrauf as-Singkili, Syekh Kuala, Tengku Chik di Tiro, hingga Syekh Daud Beureueh, telah memainkan peran sentral dalam membangun karakter dan ketahanan umat. Mereka bukan hanya guru spiritual, tetapi juga pemimpin perlawanan, pengayom umat, dan pengarah masa depan.

Namun kini, ketika dunia berada dalam cengkeraman era digital, posisi ulama dayah menghadapi tantangan baru. Antara menjaga kemurnian ilmu warisan salaf dan merespons cepatnya perubahan zaman, para ulama dihadapkan pada pertanyaan: Apakah mereka akan menjadi saksi yang diam, atau pelita yang terus menyala?


Warisan Ulama Masa Lalu: Kekuatan Moral dan Intelektual

Ulama dayah masa lalu membentuk wajah Aceh melalui keilmuan, akhlak, dan keberanian. Mereka menjadi jembatan antara ilmu dan tindakan. Kitab kuning bukan sekadar teks, tapi pedoman hidup. Mereka hidup sederhana namun berwibawa, dihormati rakyat, dan disegani penguasa. Ulama tidak mengejar dunia, tetapi dunia mendekat karena integritas mereka.

Dayah kala itu menjadi benteng peradaban—menanamkan akidah, membentuk watak, dan melatih kepemimpinan. Santri keluar dari dayah tidak hanya menguasai ilmu fikih dan tauhid, tapi juga memiliki ketajaman sosial dan politik. Mereka menjadi pemimpin masyarakat, bukan hanya imam di masjid.


Ulama Dayah di Era Digital: Di Antara Peluang dan Ancaman

Kini, ulama dayah hidup dalam realitas yang berbeda. Informasi berseliweran cepat, teknologi menciptakan kebisingan digital, dan generasi muda lebih akrab dengan TikTok daripada tafsir Ibnu Katsir. Dunia berubah drastis, dan eksistensi ulama dayah dituntut untuk turut bertransformasi.

Beberapa tantangan utama:

  1. Relevansi Gagasan: Banyak pesan dayah yang tertinggal karena tidak dikemas dengan bahasa kekinian. Sementara umat menghadapi isu-isu baru seperti disrupsi moral digital, LGBTQ, krisis keluarga, hingga hilangnya adab di media sosial.
  2. Ketertinggalan Teknologi: Sebagian dayah masih gagap teknologi. Ulama yang tidak aktif di ruang digital akan kehilangan audiens muda yang haus petunjuk tapi mencari di tempat yang salah.
  3. Fragmentasi Otoritas Keilmuan: Media sosial membuat semua orang bisa bicara agama. Tanpa filter sanad keilmuan, masyarakat sering terpapar "ustaz instan" dengan pemahaman dangkal.

Namun tantangan ini juga membawa peluang besar:

  • Ulama dayah dapat menjadi pionir dakwah digital dengan membuat konten yang menyejukkan dan mendidik.
  • Dayah dapat menjadi pusat integrasi ilmu agama dan teknologi, mendidik santri yang tak hanya menguasai kitab, tapi juga piawai menjawab tantangan zaman.
  • Ulama harus tampil sebagai penengah dalam kegaduhan moral bangsa, menawarkan keteladanan, bukan hanya ceramah.

Jalan Tengah: Melestarikan, Mengadaptasi, dan Menyebarkan

Era digital tidak bisa dihindari. Yang harus dilakukan adalah menguatkan fondasi, sambil membuka jendela baru. Para ulama muda lulusan dayah harus diberi ruang untuk menjadi jembatan. Mereka yang menguasai kitab dan mengerti media, harus didorong tampil. Bukan untuk mencari ketenaran, tapi untuk menyelamatkan umat.

Perlu adanya digitalisasi kitab-kitab turats, pendirian kanal dakwah digital resmi dayah, dan pelatihan literasi digital bagi santri dan ulama. Dakwah tidak hanya di mimbar, tapi juga di platform seperti YouTube, Instagram, dan podcast. Di sana umat berada, dan di sana pula ulama harus hadir.

 Warisan Tak Boleh Padam

Ulama dayah masa lalu telah memberi pondasi emas bagi peradaban Aceh. Kini, estafet itu ada di tangan ulama masa kini. Dunia boleh berubah, tapi nilai-nilai kebenaran tetap sama. Tinggal bagaimana membungkusnya dalam bahasa zaman.

Semoga ulama dayah terus menjadi pelita di tengah gelapnya zaman, lentera moral yang tak padam meski diterpa badai digital. Jika tidak, kita akan melihat generasi yang kehilangan rujukan, dan Aceh kehilangan ruhnya.