Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Gon Sira: Rujak Buah, Rasa, dan Sejarah yang Terlupakan di Aceh

Rabu, 06 Agustus 2025 | 22:39 WIB Last Updated 2025-08-06T15:39:37Z





Di tengah hiruk-pikuk modernitas dan gelombang makanan cepat saji yang datang silih berganti, ada satu kuliner rakyat yang tetap bertahan dalam ingatan sebagian orang Aceh—Gon Sira. Nama yang sederhana, namun sarat makna. Ia bukan sekadar rujak buah. Ia adalah perpaduan antara sejarah, rasa, identitas lokal, dan pertemuan sosial yang penuh warna.

Gon Sira—biasa disajikan dari potongan buah-buahan lokal seperti jambu, pepaya muda, mangga, nanas, dan mentimun, lalu dilumuri sambal kacang atau gula aren yang dicampur dengan cabe, asam, dan garam—adalah cermin dari kesederhanaan yang berkelas. Tapi jauh dari sekadar makanan ringan, Gon Sira adalah narasi budaya Aceh yang jarang dibicarakan.

Gon Sira, dari Pasar Tradisional ke Halaman Rumah

Dulu, Gon Sira bukanlah makanan mahal atau eksklusif. Ia sering dijajakan di pasar tradisional, sekolah, hingga digelar dalam acara kenduri kampung. Bahkan, tidak sedikit anak-anak kampung yang membuatnya sendiri di halaman rumah, dengan buah yang dipetik langsung dari kebun. Rasa asam-pedas-manisnya bukan hanya memanjakan lidah, tapi juga menghadirkan keakraban.

Gon Sira bukan hanya tentang makanan, tetapi juga tentang momen kebersamaan. Dalam banyak cerita masa lalu, ibu-ibu dan anak-anak akan berkumpul di sore hari, meracik Gon Sira sembari bertukar cerita. Ia adalah makanan yang merekatkan komunitas, yang menghangatkan relasi antarwarga di kampung-kampung Aceh.

Di Balik Rasa, Ada Identitas dan Perlawanan

Yang tak banyak disadari, Gon Sira juga menyimpan jejak identitas dan perlawanan. Di masa sulit, saat konflik atau penjajahan, masyarakat Aceh tetap mempertahankan makanan tradisional sebagai bentuk resistensi kultural. Ketika makanan luar menjadi simbol penjajahan ekonomi atau gaya hidup elite kota, Gon Sira hadir sebagai penegasan bahwa budaya lokal tetap hidup, bahkan di tengah tekanan zaman.

Ia menjadi saksi bisu dari keberanian orang-orang kampung menjaga apa yang mereka punya—baik buah-buahan lokal, tradisi bercerita, maupun kebanggaan terhadap kuliner sederhana tapi penuh makna.

Gon Sira dan Generasi Hari Ini

Sayangnya, Gon Sira kini mulai kehilangan panggungnya. Generasi muda Aceh lebih mengenal brand makanan luar, lebih familiar dengan bubble tea atau boba dibanding Gon Sira. Bahkan, sebagian anak muda Aceh bisa dengan mudah menyebut daftar makanan Korea, tapi kesulitan menjelaskan cara membuat Gon Sira.

Ini bukan semata tentang selera, tetapi tentang hilangnya ikatan kultural dengan warisan sendiri. Kita tak bisa menyalahkan sepenuhnya generasi muda, karena mereka hidup di tengah gelombang globalisasi yang kuat. Yang patut disesalkan adalah absennya narasi kuliner lokal dalam ruang pendidikan, media, dan promosi budaya kita sendiri.

Siapa yang hari ini menulis sejarah Gon Sira? Siapa yang menjadikannya bagian dari literasi kuliner Aceh? Sayangnya, sangat sedikit.

Saatnya Gon Sira Direbut Kembali

Sudah saatnya kita merebut kembali Gon Sira sebagai bagian dari identitas dan kebanggaan Aceh. Pemerintah daerah, pegiat budaya, komunitas kuliner, hingga sekolah-sekolah perlu menghidupkan kembali makanan-makanan lokal seperti Gon Sira. Bukan sekadar untuk disantap, tetapi untuk dipahami dan dihargai.

Festival kuliner Aceh perlu memasukkan Gon Sira sebagai ikon yang dipromosikan. Pelatihan UMKM dapat mendorong inovasi Gon Sira sebagai produk olahan lokal yang bisa dijual dengan kemasan modern. Anak-anak sekolah bisa diajak mengenal kembali cara meracik Gon Sira dalam pelajaran muatan lokal atau ekstrakurikuler budaya.

Di era digital, Gon Sira pun bisa dibuatkan konten menarik—video resep, kisah sejarahnya, hingga tantangan memasak rujak khas Aceh ini. Inilah bentuk kecil dari perjuangan besar: melestarikan identitas melalui rasa.

 Rasa yang Menjaga Ingatan

Gon Sira bukan sekadar rujak buah. Ia adalah rasa yang menjaga ingatan. Ia adalah warisan yang mengikat generasi, dari masa lalu yang getir ke masa depan yang penuh tantangan. Bila kita tak lagi mengenal Gon Sira, maka kita perlahan akan kehilangan sebagian dari jati diri Aceh yang sejati.

Mari kita rawat kembali Gon Sira—dengan mulut yang menghargai rasa, dan hati yang mencintai akar.