Kata yang Melukai, Kata yang Membakar
Politik bukan sekadar soal undang-undang dan kebijakan. Ia juga tentang kata-kata. Kata bisa menyembuhkan, bisa pula melukai. Kata bisa membangun kepercayaan, bisa juga menghancurkan marwah bangsa. Dan ketika seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bicara asal-asalan, lebih-lebih hingga menghina rakyat, maka yang terluka bukan sekadar hati individu, melainkan harga diri sebuah bangsa.
Seperti disampaikan Wakil Presiden ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla, demonstrasi besar yang pecah sejak Senin (25/8/2025) bukanlah lahir dari ruang hampa. Ia adalah respons dari rakyat yang muak dengan ucapan sembrono wakilnya sendiri. Ketika lidah wakil rakyat menjadi bumerang, rakyatlah yang bereaksi.
Di sinilah pentingnya kita refleksikan: kata pejabat publik adalah amanah, dan rakyat tidak boleh dihina.
Bicara Asal-Asalan: Ketika Lidah Menjadi Luka
Rakyat memilih anggota DPR melalui pemilu, memberi mandat agar suara mereka diwakili di Senayan. Namun ironisnya, ada wakil rakyat yang justru bicara seenaknya, mengeluarkan kalimat yang menghina rakyat kecil, meremehkan aspirasi, bahkan menyinggung harga diri bangsa.
Kita patut bertanya:
- Apakah kursi DPR dianggap panggung sandiwara, tempat bermain kata tanpa peduli konsekuensi?
- Apakah rakyat yang menitipkan suaranya pantas diperlakukan hanya sebagai objek lelucon?
- Apakah martabat bangsa begitu murah hingga bisa diinjak oleh ucapan asal-asalan?
Di sinilah letak luka itu. Kata-kata menghina bukan sekadar kesalahan pribadi, tetapi juga cermin buruknya moral politik.
Kata Adalah Amanah
Dalam budaya kita, kata adalah doa. Pepatah Aceh menyebut, "Kata nyang meunanah, lagee teupat jih meunanah; kata nyang salah, lagee peunoh jih salah." Kata yang benar akan menjadi cahaya, kata yang salah akan menjadi duri.
Dalam Islam, lidah bahkan menjadi salah satu anggota tubuh yang paling ditekankan untuk dijaga. Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari-Muslim).
Maka seorang wakil rakyat, dengan segala kehormatan jabatannya, seharusnya lebih berhati-hati dalam berbicara. Kata-katanya bukan hanya mewakili dirinya, melainkan juga lembaga DPR, bahkan bangsa Indonesia.
Demonstrasi: Bentuk Marwah Rakyat
Ketika rakyat turun ke jalan, itu bukan sekadar keramaian. Itu adalah ekspresi kemarahan kolektif, penegasan bahwa rakyat tidak mau dihina. Demonstrasi yang pecah beberapa hari terakhir adalah bukti nyata bahwa rakyat memiliki harga diri.
Demo bukanlah tanda kelemahan, tetapi tanda kekuatan. Ia menunjukkan bahwa rakyat masih peduli, rakyat masih punya energi untuk melawan ketidakadilan. Dalam sejarah Indonesia, hampir semua perubahan besar lahir dari jalanan: dari perlawanan kolonial, peristiwa 1966, hingga reformasi 1998. Jalanan adalah ruang rakyat menjaga marwahnya.
Stigma dan Kebenaran
Sayangnya, demonstrasi sering distigma sebagai aksi anarkis, perusuh, atau digerakkan oleh pihak tertentu. Tetapi mari kita jujur: bukankah suara rakyat selalu punya resiko diputarbalikkan?
Kita harus memisahkan antara oknum provokator dengan massa yang tulus berjuang. Mayoritas rakyat yang turun ke jalan adalah mereka yang benar-benar peduli, mereka yang menolak dihina, mereka yang ingin harga diri bangsa tetap tegak.
Rakyat sebagai Pemilik Kedaulatan
UUD 1945 dengan tegas menyatakan: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” (Pasal 1 ayat 2). Artinya, DPR bukan pemilik kedaulatan, melainkan hanya penerima mandat. Mereka adalah pelayan rakyat, bukan tuan atas rakyat.
Maka ketika anggota DPR berbicara seolah merendahkan rakyat, sesungguhnya ia sedang mengkhianati mandat konstitusi. Rakyat bukan objek hinaan. Rakyat adalah pemilik negeri ini.
Etika Politik dan Tanggung Jawab Moral
Dalam teori politik, etika adalah fondasi utama kekuasaan. Max Weber menekankan pentingnya “etika tanggung jawab” bagi seorang politisi. Seorang pejabat tidak bisa bicara sembarangan, karena setiap kata punya konsekuensi politik.
Lebih jauh, Jurgen Habermas mengajarkan bahwa ruang publik harus diisi dengan komunikasi yang rasional, santun, dan saling menghargai. Jika wakil rakyat justru menciptakan ruang publik yang penuh penghinaan, maka ia telah merusak sendi demokrasi.
Saatnya Bersatu Menjaga Marwah
Kemarahan rakyat jangan hanya berhenti di jalanan. Ia harus menjadi energi untuk bersatu. Kita perlu mengubah luka menjadi kekuatan, hinaan menjadi motivasi.
- Bersatu menjaga marwah rakyat. Rakyat tidak boleh diremehkan.
- Bersatu menuntut pertanggungjawaban. DPR harus membersihkan diri dari anggota yang tidak layak.
- Bersatu memperkuat demokrasi. Jangan biarkan kursi parlemen dihuni oleh orang-orang yang tak menghargai rakyat.
Kita bisa berbeda pilihan politik, berbeda partai, bahkan berbeda ideologi. Tetapi ketika rakyat dihina, kita harus bersatu.
Harapan untuk DPR dan Pejabat Publik
Kepada para anggota DPR, belajarlah dari kejadian ini. Jangan anggap enteng ucapan. Hargailah rakyat yang memilih kalian. Kursi DPR bukan milik pribadi, melainkan amanah dari jutaan suara.
Kepada pejabat publik lain, jadikan peristiwa ini sebagai cermin. Jagalah kata, karena dari kata lahir citra bangsa. Jagalah marwah rakyat, karena dari rakyat lahir kekuasaan.
Penutup: Rakyat Tidak Bisa Dihina
Hari ini, rakyat Indonesia menunjukkan satu hal: mereka bisa bersabar, tetapi jangan pernah coba menghina mereka. Demonstrasi yang pecah adalah bukti bahwa rakyat masih punya marwah.
Kata-kata asal-asalan dari anggota DPR mungkin melukai, tetapi reaksi rakyat membuktikan bahwa bangsa ini belum mati. Justru dari luka itulah lahir energi persatuan.
Maka mari kita katakan bersama: rakyat Indonesia tidak bisa dihina. Rakyat Indonesia tidak bisa diremehkan. Rakyat Indonesia akan selalu bersatu menjaga marwah bangsanya.
Dan kepada para wakil rakyat, ingatlah: kata kalian adalah amanah. Bila kata itu menghina, maka rakyatlah yang akan mengadili