Bahasa adalah rumah bagi pikiran dan jiwa sebuah bangsa. Ia bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga tempat tinggal nilai, sejarah, dan identitas yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam konteks Aceh, bahasa Aceh adalah cermin dari marwah rakyatnya—bahasa yang pernah mengiringi doa para ulama, strategi para panglima, dan nasihat orang tua di balai gampong.
Namun hari ini, di tengah kehidupan masyarakat Aceh yang majemuk dengan beragam suku—Gayo, Alas, Aneuk Jamee, Tamiang, Singkil, Jawa, dan lain-lain—bahasa Aceh menghadapi tantangan serius. Di pasar, di sekolah, bahkan di rumah, kita kian sering mendengar bahasa Indonesia menjadi penghubung utama, sementara bahasa Aceh mulai tersisih, terutama di kota-kota.
Bahasa Aceh: Perekat atau Pembatas?
Pertanyaan yang sering muncul adalah: apakah membumikan bahasa Aceh berarti mengabaikan bahasa lain? Jawabannya: tidak. Membumikan bukan memaksakan, melainkan menghadirkan bahasa Aceh sebagai ruang inklusif—ruang yang menyatukan, bukan memisahkan.
Bahasa Aceh harus diletakkan sebagai bahasa kebanggaan, bukan bahasa intimidasi. Ketika digunakan dengan kehangatan dan penghormatan terhadap keragaman, bahasa ini dapat menjadi jembatan budaya yang mempererat ikatan sosial antar-suku di Aceh.
Realitas di Lapangan
Di pedesaan, bahasa Aceh masih kokoh menjadi bahasa sehari-hari. Tetapi di perkotaan, banyak anak muda Aceh yang mengaku malu atau kesulitan berbicara dalam bahasa sendiri. Penyebabnya beragam:
- Dominasi Bahasa Nasional – Sekolah dan media massa lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia.
- Kurangnya Warisan Lisan – Orang tua muda lebih memilih berbicara bahasa Indonesia dengan anaknya.
- Stigma Sosial – Sebagian menganggap bahasa Aceh “kampungan” atau “tidak keren”.
Langkah Membumikan Bahasa Aceh
Untuk menghidupkan kembali bahasa Aceh di tengah kemajemukan suku, diperlukan strategi yang realistis dan kreatif:
-
Bahasa Aceh sebagai Bahasa Kedua Resmi di Aceh
Pemerintah daerah dapat memperkuat qanun atau peraturan yang memberi ruang bagi bahasa Aceh dalam administrasi publik, papan nama, dan acara resmi. -
Pendidikan Multibahasa
Di sekolah, bahasa Aceh dapat diajarkan sebagai muatan lokal, namun dengan pendekatan yang menghargai bahasa daerah lain di Aceh. -
Konten Digital Berbahasa Aceh
Generasi muda menghabiskan waktunya di media sosial. Membuat film pendek, podcast, lagu, atau meme dalam bahasa Aceh bisa menjadi cara membumikan bahasa ini di dunia digital. -
Festival Bahasa dan Sastra Aceh
Mengadakan lomba pidato, syair, atau hikayat dalam bahasa Aceh yang melibatkan semua suku di Aceh, sehingga bahasa ini menjadi milik bersama, bukan hanya etnis Aceh semata.
Bahasa sebagai Jiwa Aceh
Bahasa Aceh tidak boleh menjadi “fosil budaya” yang hanya dipamerkan saat acara adat. Ia harus menjadi bahasa hidup—dipakai di warung kopi, di pesan singkat, di rapat desa, dan di ruang-ruang keluarga. Membumikan bahasa Aceh berarti menjaga pintu rumah kebudayaan Aceh agar tetap terbuka, sehingga siapa pun yang datang—dari suku manapun—bisa masuk dan merasa menjadi bagian dari Aceh.
Jika bahasa adalah rumah, maka membumikan bahasa Aceh adalah merawat rumah itu agar tidak roboh. Sebab bila rumah bahasa kita runtuh, kita bukan hanya kehilangan kata-kata, tetapi juga kehilangan cara kita memahami dunia dan diri sendiri.
Penulis Azhari