Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Merajut Harapan di Tengah Krisis: Konflik Satwa-Manusia di Pelosok Aceh

Sabtu, 30 Agustus 2025 | 15:46 WIB Last Updated 2025-08-30T08:46:52Z



Di sebuah pelosok kampung di Aceh, kehidupan bukan hanya diwarnai oleh kesederhanaan, tetapi juga oleh tantangan besar yang jarang mendapat sorotan. Konflik satwa dan manusia menjadi luka yang terus terbuka. Di satu sisi, masyarakat menggantungkan hidup pada kebun, sawah, dan ternak. Di sisi lain, hutan yang semakin menyempit membuat satwa liar turun mencari makan, merambah ke pemukiman, bahkan merusak tanaman yang menjadi satu-satunya sumber nafkah keluarga.

Bagi petani kecil di kampung itu, setiap malam adalah kecemasan. Suara ranting patah bisa berarti gajah yang turun merusak ladang, atau babi hutan yang merusak padi. Anak-anak tidur dengan doa agar esok hari masih ada yang bisa dipanen. Para orang tua berjaga dengan obor, bukan hanya untuk melawan kegelapan, tetapi juga untuk melawan ancaman yang datang dari hutan.

Namun di balik jeritan kecil itu, ada kekuatan besar yang jarang disadari: ketabahan dan persatuan masyarakat. Mereka sadar, tidak ada yang peduli bila hanya mengeluh. Mereka membentuk ronda malam, saling berbagi hasil panen yang tersisa, dan merajut semangat gotong royong agar tidak seorang pun merasa sendirian dalam menghadapi krisis ini.

Sayangnya, suara mereka sering kali tidak terdengar di ruang-ruang kebijakan. Konflik satwa-manusia bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga soal keadilan sosial. Petani kecil tidak punya daya tawar, sementara pembangunan sering kali mengorbankan ruang hidup satwa maupun masyarakat desa. Jalan-jalan besar, perkebunan raksasa, dan proyek-proyek industri merampas hutan, lalu yang tersisa hanyalah benturan di lapangan: manusia yang miskin berhadapan dengan satwa yang lapar.

Namun dari pelosok Aceh ini kita belajar sebuah pelajaran penting: bertahan hidup bukan hanya tentang menaklukkan alam, melainkan tentang hidup selaras dengannya. Masyarakat desa sebenarnya sudah memiliki kearifan lokal: cara menjaga hutan, membatasi perburuan, dan menghormati satwa sebagai bagian dari ciptaan Allah. Yang kurang adalah perhatian nyata dari negara dan dunia—mendukung dengan solusi, bukan sekadar wacana.

Opini ini bukan sekadar mengulas krisis, tetapi menjadi ajakan: mari kita melihat kampung-kampung kecil di Aceh sebagai penjaga hutan terakhir. Mereka tidak butuh belas kasihan, yang mereka butuhkan adalah akses pada kebijakan yang adil, teknologi ramah lingkungan, dan ruang hidup yang tidak diganggu oleh kepentingan modal.

Motivasi terbesarnya adalah bahwa setiap tetes keringat petani di pelosok itu adalah bagian dari kehidupan kita semua. Mereka memberi kita beras, kopi, dan udara segar yang lahir dari hutan. Maka, ketika mereka berjuang melawan krisis, seharusnya kita juga ikut berdiri bersama mereka.

Karena pada akhirnya, jeritan kecil dari pelosok Aceh adalah jeritan untuk kita semua. Jika kita membiarkannya hilang tanpa jejak, maka yang hancur bukan hanya desa itu, tetapi juga masa depan kita bersama.