Saatnya Bangkit dari Tidur Panjang
Aceh adalah tanah yang pernah mengguncang dunia, tempat di mana darah para syuhada bercampur dengan tanah, dan sejarahnya ditulis dengan tinta keberanian. Namun, di balik kemegahan itu, kita menghadapi kenyataan pahit: generasi muda kita terpecah, sibuk berdebat hal remeh, dan melupakan cita-cita besar. Padahal, persatuan pemuda adalah kunci yang pernah membuat musuh gentar, dan itu pula yang akan menentukan masa depan Aceh.
Hari ini, pertanyaannya sederhana namun tajam: maukah kita bersatu untuk membangun kedaulatan Aceh di tanah sendiri, atau terus menjadi penonton yang menyaksikan sumber daya kita digerogoti, adat kita dilunturkan, dan hak-hak kita diabaikan?
Sejarah yang Mengajarkan Harga Persatuan
Aceh pernah berdiri sebagai kerajaan besar yang disegani. Dari Sultan Iskandar Muda hingga perlawanan heroik Cut Nyak Dhien, sejarah membuktikan bahwa ketika rakyat Aceh bersatu di bawah satu tujuan, tidak ada kekuatan kolonial yang mudah menundukkan kita. Sebaliknya, saat kita terpecah, musuh masuk dengan mudah, memecah belah, dan mengambil keuntungan dari perbedaan kita.
Di masa konflik modern pun, persatuan pemuda dan rakyat membuat dunia internasional memberi perhatian. Namun, pasca damai, kita seperti kehilangan arah. Konflik horizontal, perebutan kepentingan politik, dan mentalitas individualistis merusak jaringan solidaritas yang dulu begitu kuat.
Persatuan Pemuda: Bukan Sekadar Slogan
Pemuda Aceh hari ini punya modal besar: pendidikan, teknologi, jejaring global, dan kemerdekaan berpikir. Tetapi semua itu tidak berarti jika kita sibuk memperebutkan kursi, memamerkan gaya hidup, atau saling menjatuhkan di media sosial. Persatuan pemuda bukan berarti harus satu organisasi atau satu bendera politik, tetapi menyatukan visi: membangun Aceh yang berdaulat di bidang ekonomi, politik, pendidikan, dan budaya.
Berdaulat di tanah sendiri berarti kita memutuskan arah pembangunan tanpa dikendalikan pihak luar. Artinya, tanah dan sumber daya Aceh harus dikelola untuk kesejahteraan rakyat Aceh, bukan untuk memperkaya segelintir elit atau investor asing.
Musuh Aceh: Tidak Selalu Datang dengan Senjata
Musuh Aceh hari ini tidak selalu datang dengan meriam atau pasukan infanteri. Mereka datang dengan investasi yang mengikat, proyek yang menguras, dan kebijakan yang membungkam. Mereka memanfaatkan kelemahan internal kita: perpecahan, korupsi, dan mentalitas “asal dapat bagian”.
Ketika pemuda Aceh bersatu, mereka akan menjadi benteng moral, pengawal sumber daya, dan penggerak perubahan. Inilah yang membuat musuh gentar—bukan karena senjata, tetapi karena kesadaran kolektif yang kuat.
Strategi Kedaulatan Aceh
- Konsolidasi Gerakan Pemuda – Bentuk forum lintas komunitas yang menggabungkan mahasiswa, aktivis, pengusaha muda, dan tokoh adat.
- Ekonomi Mandiri – Bangun koperasi dan usaha kreatif yang mengandalkan potensi lokal.
- Pendidikan Berbasis Identitas – Dayah dan sekolah harus menjadi pusat pembentukan karakter pemuda Aceh yang cinta tanah air dan berintegritas.
- Advokasi Politik Bersih – Pemuda harus masuk ke politik dengan visi pelayanan, bukan pembagian kue kekuasaan.
- Media dan Narasi – Kuasai media untuk menyebarkan narasi kedaulatan dan kebanggaan Aceh.
Penutup: Aceh Milik Kita, Jangan Jadi Penonton
Jika pemuda Aceh bersatu, kita tidak hanya membuat musuh gentar, tetapi juga menghidupkan kembali kebanggaan menjadi orang Aceh. Saatnya berhenti menjadi penonton di tanah sendiri. Kedaulatan tidak datang dari mimpi atau nostalgia sejarah, tetapi dari keberanian, strategi, dan kerja nyata.
Seperti kata pepatah Aceh: "Seulanga jaroe that na, meupat jaroe leupah that na" — satu tangan memang kuat, tapi banyak tangan akan jauh lebih kuat. Mari genggam erat tangan sesama, rapatkan barisan, dan tunjukkan bahwa Aceh bisa berdaulat di tanah sendiri.
Penulis Azhari