Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Sejarah Panjat pinang di hari 17 Agustus

Senin, 18 Agustus 2025 | 22:28 WIB Last Updated 2025-08-18T15:28:43Z



Panjat Pinang: Jejak Penjajahan dalam Perayaan Kemerdekaan

Tawa, Lelah, dan Kemerdekaan yang Dipertanyakan

Setiap tanggal 17 Agustus, seluruh pelosok negeri dipenuhi keriuhan perayaan. Dari desa terpencil hingga kota besar, rakyat menyemarakkan hari kemerdekaan dengan aneka lomba: tarik tambang, balap karung, makan kerupuk, hingga yang paling ikonik—panjat pinang. Lomba ini begitu akrab di mata rakyat, bahkan dianggap tradisi turun-temurun dalam perayaan kemerdekaan.

Namun jarang sekali ada yang bertanya: dari mana asal panjat pinang? Apakah benar ia lahir dari budaya asli bangsa? Atau justru warisan yang tak pernah kita sadari?

Di sinilah ironi itu muncul. Panjat pinang ternyata bukan tradisi lokal Nusantara. Ia justru lahir dari masa penjajahan Belanda, diperkenalkan bukan untuk memuliakan rakyat, melainkan untuk menghibur kaum kolonial. Sebuah simbol betapa tubuh pribumi dulu hanya menjadi tontonan, dan hadiah-hadiah yang digantung di pucuk batang pinang bukanlah milik rakyat jelata, melainkan untuk sesama tuan penjajah.

Ironisnya, setelah kemerdekaan direbut dengan darah dan air mata, lomba ini justru diadopsi sebagai salah satu ikon perayaan Hari Merdeka. Pertanyaannya: apakah pantas sebuah bangsa merayakan kemerdekaan dengan permainan yang lahir dari penindasan?


Asal-Usul Panjat Pinang: Hiburan Kaum Penjajah

Sejarawan menyebutkan bahwa panjat pinang mulai populer di Indonesia pada abad ke-17 hingga 19, terutama di Batavia (Jakarta sekarang). Tradisi ini diadopsi dari Belanda, dikenal di sana sebagai De Klimmast (panjat tiang).

Dalam catatan kolonial, panjat pinang biasa digelar pada pesta-pesta orang Belanda, terutama saat perayaan ulang tahun raja (koninginnedag) atau acara penting lainnya. Sebuah batang pohon, biasanya pinang atau pohon tinggi lainnya, didirikan tegak lurus, dilumuri minyak atau pelumas agar licin, lalu di puncaknya digantung hadiah. Pesertanya? Bukan rakyat pribumi, melainkan orang Belanda sendiri yang berlomba memanjat. Rakyat lokal hanya boleh menonton, bersorak, dan menjadi saksi hiburan yang sejatinya melecehkan.

Hadiah-hadiah yang digantung juga bukan kebutuhan rakyat kecil. Pada masa itu, hadiah berupa pakaian, daging, keju, hingga barang impor yang hanya bisa dinikmati oleh kalangan atas. Panjat pinang, dengan demikian, bukanlah tradisi rakyat Nusantara, melainkan hiburan kelas kolonial.

Ketika perayaan ini merembes ke kalangan pribumi, ia berubah bentuk: hadiah-hadiah sederhana seperti sabun, gula, kain, dan rokok mulai digantung di puncak. Namun esensinya tetap sama: rakyat dibuat berebut, jatuh bangun, tertawa sekaligus menderita, demi sesuatu yang kecil nilainya.


Panjat Pinang sebagai Simbol Penindasan

Jika ditafsirkan, panjat pinang sarat simbolisme sosial.

  1. Batang pinang yang licin melambangkan sistem kolonial yang memang sengaja dibuat sulit untuk ditaklukkan rakyat.
  2. Hadiah di puncak adalah kemewahan dan kesejahteraan yang hanya bisa diraih oleh sedikit orang.
  3. Peserta yang jatuh bangun melambangkan rakyat kecil yang berjuang dengan tubuhnya sendiri, sementara penonton tertawa menyaksikan penderitaan.
  4. Kebersamaan dalam memanjat menggambarkan bahwa rakyat harus saling menopang, tapi pada akhirnya hanya satu atau dua orang yang benar-benar menikmati hasilnya.

Bukankah ini ironi dari sebuah bangsa yang katanya telah merdeka? Bahkan setelah 79 tahun Indonesia merdeka, rakyat masih terjebak dalam pola yang sama: bekerja keras, saling menopang, tapi hasil dinikmati segelintir orang di puncak kekuasaan.


Mengapa Panjat Pinang Bertahan?

Pertanyaan penting muncul: jika panjat pinang jelas warisan kolonial, mengapa ia tetap bertahan hingga kini sebagai ikon 17 Agustus?

Ada beberapa alasan:

  1. Sifat Hiburan Rakyat
    Panjat pinang dianggap meriah, menimbulkan tawa, dan menjadi tontonan massal. Ia sederhana, tidak butuh modal besar, tapi bisa mengundang keramaian.

  2. Transformasi Makna
    Dari simbol kolonial, ia digeser menjadi perlombaan rakyat. Hadiah-hadiah kecil dianggap hiburan sekaligus berkah bagi masyarakat sederhana.

  3. Ketiadaan Refleksi Kritis
    Sebagian besar rakyat tidak tahu asal-usulnya. Mereka menganggap panjat pinang adalah tradisi asli Indonesia. Minimnya pendidikan sejarah membuat bangsa ini mudah melestarikan sesuatu tanpa tahu makna.

  4. Politik Simbolik
    Pemerintah daerah hingga pusat sering menggunakan lomba rakyat ini untuk menunjukkan “kedekatan” dengan rakyat. Panjat pinang menjadi legitimasi bahwa mereka hadir di tengah masyarakat.


Panjat Pinang: Cermin Mentalitas Bangsa

Jika direnungkan lebih dalam, panjat pinang adalah cermin mentalitas bangsa Indonesia.

  • Berjuang Tanpa Sistem yang Adil
    Rakyat saling tumpuk, dorong, dan injak demi hadiah, tanpa ada aturan main yang benar-benar adil. Sama halnya dengan bangsa ini yang sering berjuang tanpa fondasi sistem yang kokoh.

  • Kebersamaan yang Sementara
    Dalam panjat pinang, kebersamaan hanya berlangsung saat memanjat. Setelah hadiah tercapai, kebersamaan bubar. Begitu pula dalam politik bangsa: rakyat bersatu saat pemilu, lalu tercerai berai setelah penguasa naik.

  • Tertawa di Atas Penderitaan
    Penonton terhibur melihat peserta jatuh. Ironinya, dalam realitas sosial, rakyat pun sering menertawakan penderitaan sesamanya, alih-alih mengubahnya menjadi solidaritas.

  • Simbol Ketimpangan Sosial
    Segelintir orang di puncak menikmati hadiah, sementara mayoritas di bawah hanya menyumbang tenaga. Bukankah ini gambaran oligarki yang masih bercokol hingga kini?


Perlu Refleksi: Perayaan Kemerdekaan Seperti Apa yang Kita Butuhkan?

Pertanyaan besar yang harus dijawab bangsa ini adalah: apakah kemerdekaan hanya pantas dirayakan dengan tawa tubuh yang terjatuh demi seember hadiah plastik?

Bangsa yang besar seharusnya merayakan kemerdekaan dengan cara yang memerdekakan akal, menumbuhkan kebanggaan budaya, dan memperkuat karakter rakyat.

Alih-alih panjat pinang, perayaan 17 Agustus bisa diganti atau diperkaya dengan kegiatan seperti:

  1. Festival Budaya Lokal
    Setiap daerah di Nusantara punya tradisi, seni, dan kearifan lokal yang lebih luhur. Mengapa tidak digali dan ditampilkan sebagai wujud kebanggaan?

  2. Lomba Literasi dan Inovasi
    Kemerdekaan sejati lahir dari pikiran merdeka. Lomba menulis, membaca puisi, atau karya inovasi anak bangsa jauh lebih mencerminkan spirit kemerdekaan.

  3. Gerakan Sosial
    Misalnya, gotong royong membersihkan sungai, menanam pohon, atau aksi solidaritas. Bukankah itu lebih nyata daripada tertawa melihat orang jatuh?

  4. Dialog Sejarah dan Kebangsaan
    Menghadirkan ruang refleksi di sekolah, balai desa, atau kampus agar rakyat paham makna kemerdekaan, bukan sekadar ritual tahunan.


Kemerdekaan: Merdeka dari Penjajahan atau Merdeka dari Tradisi Penjajahan?

Panjat pinang mengajarkan kita bahwa bangsa ini sering lupa membedakan antara “mempertahankan tradisi” dan “mengulang penjajahan”. Apa artinya 79 tahun merdeka jika cara kita merayakan kemerdekaan masih memakai warisan kolonial?

Kemerdekaan sejati bukan hanya mengusir Belanda, tapi juga mengusir cara berpikir dan budaya yang melecehkan rakyat. Kemerdekaan sejati adalah memerdekakan akal, hati, dan cara kita merayakan kehidupan.


Penutup: Dari Panjat Pinang ke Panjat Peradaban

Pada akhirnya, panjat pinang boleh tetap dipertahankan sebagai hiburan rakyat, tapi jangan sampai ia menjadi simbol satu-satunya perayaan kemerdekaan. Kita perlu sadar sejarahnya, refleksi maknanya, lalu memberi tafsir baru yang lebih memuliakan rakyat.

Kemerdekaan sejati tidak terletak pada hadiah di pucuk pinang, melainkan pada kemampuan bangsa ini untuk memanjat peradaban—dengan ilmu, dengan budaya, dengan solidaritas, dan dengan keadilan.

Karena itu, mari kita bertanya pada diri sendiri: Apakah kita masih merayakan kemerdekaan dengan warisan penjajah, atau sudah mulai merayakan kemerdekaan dengan warisan leluhur sendiri.


Mohon maaf bila salah data, karena kami tidak pernah membaca sejarah.