Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Tabir Kehidupan dalam Silaturahmi

Senin, 18 Agustus 2025 | 22:13 WIB Last Updated 2025-08-18T15:14:12Z



Oleh: AZHARI 

Hidup ini penuh dengan tabir yang tidak seluruhnya bisa kita singkap dengan akal. Ada tabir rezeki yang kadang datang dari arah tak terduga, tabir jodoh yang misterius, tabir ajal yang hanya Tuhan tahu waktunya, dan tabir hikmah yang sering kali baru tampak setelah peristiwa berlalu. Namun, di antara sekian banyak tabir kehidupan itu, ada satu jalan yang dipercaya mampu membuka keberkahan dan menyingkap sebagian misteri: silaturahmi.

Silaturahmi bukan sekadar aktivitas sosial untuk berkunjung, berjabat tangan, atau bertukar kabar. Ia adalah energi spiritual yang menghubungkan hati manusia dalam jejaring kasih sayang. Dalam silaturahmi, tabir-tabir kehidupan tersingkap: rezeki yang mengalir, umur yang penuh makna, hati yang tenang, dan persaudaraan yang semakin kokoh.


Silaturahmi: Jalan Membuka Rezeki

Sering kita mendengar pepatah bahwa rezeki bukan hanya soal kerja keras, melainkan juga tentang keberkahan hubungan. Betapa banyak orang mendapatkan pekerjaan, peluang usaha, atau bantuan tak terduga hanya karena ia menjaga silaturahmi.

Seorang pedagang di pasar, misalnya, bisa mendapat pelanggan tetap bukan semata karena barangnya bagus, tetapi karena ia menjaga hubungan baik dengan orang-orang di sekitarnya. Seorang anak muda bisa memperoleh beasiswa atau kesempatan kerja karena ia rajin bertegur sapa dan membangun relasi sehat. Semua itu adalah rezeki yang mengalir melalui silaturahmi.

Tabir kehidupan mengajarkan bahwa rezeki adalah jalinan. Hubungan baik membuka pintu-pintu yang mungkin tidak pernah kita sangka.


Silaturahmi sebagai Penyembuh Luka

Kehidupan tidak selalu lurus. Pertengkaran, kesalahpahaman, bahkan dendam adalah bagian dari perjalanan manusia. Silaturahmi hadir sebagai obat penawar luka. Dengan saling menyapa, meminta maaf, dan memaafkan, tabir dendam dan sakit hati bisa tersingkap, berganti dengan ketenangan jiwa.

Tradisi Aceh mengajarkan hal ini dengan begitu indah. Dalam adat peusijuek, misalnya, ada pesan silaturahmi yang kuat. Prosesi ini bukan sekadar taburan beras padi atau doa bersama, tetapi lambang keterhubungan antarhati—bahwa setiap peristiwa penting harus dilingkupi doa, persaudaraan, dan kedamaian. Demikian juga dengan tradisi meugang, di mana masyarakat saling berbagi daging sebelum Ramadhan dan Idul Adha. Itu bukan hanya ritual, melainkan wujud nyata menjaga silaturahmi.

Ketika silaturahmi dijaga, hati yang terluka perlahan pulih, kesalahpahaman mereda, dan kehidupan kembali harmonis.


Silaturahmi dan Panjang Umur

Banyak hadis menyebut bahwa siapa yang menjaga silaturahmi akan dipanjangkan umurnya. Panjang umur di sini tidak hanya bermakna jumlah tahun, tetapi juga kebermaknaan hidup. Orang yang memiliki silaturahmi luas hidupnya terasa lapang, penuh arti, dan jauh dari kesepian.

Bayangkan seorang kakek yang masih sering dikunjungi anak, cucu, tetangga, dan sahabat lama. Walaupun usianya renta, hidupnya terasa indah karena ia dikelilingi cinta. Sebaliknya, orang yang memutuskan silaturahmi sering kali terjebak dalam kesendirian. Hidup terasa sempit, walaupun harta berlimpah.

Tabir kehidupan memberi isyarat: umur bukan hanya soal panjangnya waktu, tetapi soal bagaimana waktu itu diisi. Dan silaturahmi adalah cara untuk memberi arti pada umur.


Silaturahmi di Era Digital

Kita hidup di era serba cepat, di mana teknologi memungkinkan hubungan jarak jauh tanpa batas. Media sosial, pesan instan, dan video call memudahkan kita bersilaturahmi secara virtual. Namun, ada risiko: silaturahmi hanya sebatas layar, bukan hati.

Sapaan di media sosial memang mempererat komunikasi, tetapi tidak bisa sepenuhnya menggantikan tatap muka, pelukan, atau jabat tangan yang tulus. Kehadiran fisik memiliki energi yang berbeda. Karena itu, meski teknologi memudahkan, silaturahmi sejati tetap membutuhkan pertemuan nyata.

Tabir kehidupan di era digital mengingatkan: jangan sampai kemudahan teknologi membuat kita lupa esensi. Silaturahmi harus tetap tulus, bukan sekadar formalitas.


Silaturahmi sebagai Perekat Bangsa

Silaturahmi juga penting dalam konteks kebangsaan. Bangsa ini berdiri di atas keberagaman. Jika tidak dijaga dengan silaturahmi, keberagaman bisa menjadi sumber perpecahan. Politik tarik menarik kepentingan sering kali memecah belah rakyat, tetapi silaturahmi antarelemen bangsa bisa menjadi penyejuk.

Sejarah membuktikan, ulama, tokoh adat, dan pemimpin bangsa menjaga silaturahmi untuk menyatukan rakyat melawan penjajahan. Kesultanan Aceh, misalnya, pernah membangun hubungan erat dengan dunia Islam di Timur Tengah dan Turki Utsmani. Itu adalah bentuk silaturahmi antarperadaban yang memperkuat posisi Aceh di panggung dunia.

Di era modern, semangat itu harus dihidupkan kembali. Silaturahmi bukan hanya antara individu, tetapi juga antara komunitas, antar daerah, bahkan antarbangsa.


Penutup: Menyingkap Tabir Kehidupan

Silaturahmi adalah jalan sederhana namun dahsyat untuk menyingkap tabir kehidupan. Ia membuka pintu rezeki, menyembuhkan luka, memanjangkan umur, dan menguatkan persaudaraan. Dalam silaturahmi, kita menemukan makna terdalam dari hidup: bahwa manusia diciptakan untuk saling mengenal, bukan saling menjauh.

Karena itu, mari menjaga silaturahmi. Tidak perlu menunggu hari raya atau undangan besar. Cukup dengan sapaan, kunjungan kecil, atau doa tulus. Sebab pada akhirnya, tabir kehidupan hanya bisa kita lewati dengan hati yang bersih. Dan silaturahmi adalah kunci yang menyingkapnya.