Di banyak daerah Nusantara, kita sering mendengar cerita tentang “tanda-tanda menjelang kematian” seseorang: ada yang menyebut 100 hari, 40 hari, 7 hari, hingga 3 hari sebelum ajal tiba. Dalam tradisi tertentu bahkan diyakini ada “enam tanda” khusus sebelum 100 hari kematian yang dapat dirasakan oleh seseorang. Misalnya tubuh terasa ringan, pandangan kosong, rasa rindu beribadah meningkat, atau keinginan kuat meminta maaf kepada orang lain.
Kisah-kisah seperti ini hidup di tengah masyarakat sebagai pengetahuan lisan yang diwariskan turun-temurun. Ia lebih dekat pada ranah budaya dan pengalaman spiritual ketimbang dalil hukum Islam yang baku. Inilah yang menarik untuk dikaji: bagaimana Islam memandang fenomena tanda-tanda kematian ini?
Kematian sebagai Rahasia Ilahi
Dalam hukum Islam, kematian atau ajal adalah bagian dari takdir Allah SWT yang tidak bisa diketahui secara pasti oleh manusia. Al-Qur’an menegaskan:
“Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dikerjakannya besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal.” (QS. Luqman: 34)
Ayat ini menjadi dasar kuat bahwa kepastian waktu dan tempat kematian hanyalah pengetahuan Allah. Karena itu, Islam tidak memberikan “paket” tanda baku menjelang kematian yang berlaku universal. Yang ada hanyalah pengingat moral agar manusia selalu siap menghadapi ajal kapan pun ia datang.
Enam Tanda Sebelum 100 Hari Kematian dalam Tradisi Lokal
Jika kita telusuri, “enam tanda sebelum 100 hari kematian” yang populer itu tidak berasal dari Al-Qur’an maupun hadis sahih. Sebagian berasal dari pengalaman orang-orang saleh yang kemudian dijadikan “pakem” oleh masyarakat. Ada pula yang bersumber dari kitab-kitab tasawuf atau hikmah yang sifatnya nasihat, bukan dalil hukum.
Misalnya disebutkan:
- Tubuh terasa ringan dan sehat padahal usia lanjut.
- Hati semakin rindu beribadah.
- Kerap memikirkan kematian dan akhirat.
- Menjauh dari kesenangan dunia.
- Mulai memperbaiki hubungan dengan orang lain.
- Mengucapkan pesan-pesan terakhir tanpa disadari.
Enam tanda ini sebenarnya adalah gejala yang baik, tanda taubat dan kedekatan spiritual, bukan ramalan pasti ajal. Seseorang yang merasakan tanda-tanda tersebut belum tentu akan meninggal 100 hari kemudian; bisa jadi ia hanya mendapat hidayah untuk memperbaiki diri.
Pandangan Hukum Islam: Tidak Ada Dalil Pasti
Para ulama fikih sepakat bahwa tidak ada ketentuan syariat mengenai tanda-tanda spesifik 100 hari sebelum kematian. Imam Nawawi, Ibn Hajar, maupun ulama Nusantara seperti Syekh Nawawi al-Bantani tidak pernah mencantumkan dalil sahih soal ini dalam kitab-kitab fikih. Maka keyakinan tentang tanda-tanda itu tidak boleh dijadikan dasar hukum atau ritual ibadah tertentu.
Namun, dalam tasawuf, kita memang menemukan banyak nasihat tentang memperbanyak ingat mati (dzikrul maut). Rasulullah SAW bersabda:
“Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan (yakni kematian).” (HR. Tirmidzi)
Hadis ini bukan memberi “tanda” kematian, melainkan mendorong umat Islam untuk selalu siap menyongsongnya dengan amal saleh.
Makna Positif Tanda-tanda Itu
Meskipun tidak ada dasar hukumnya, masyarakat boleh memaknai “enam tanda sebelum 100 hari kematian” sebagai peringatan moral. Jika seseorang merasakan dorongan memperbaiki ibadah, meminta maaf, atau memperbaiki hubungan dengan orang lain, itu pertanda baik. Islam justru mendorong sikap demikian.
Dalam fikih waris misalnya, orang yang merasa hidupnya tak lama lagi dianjurkan segera menyelesaikan hak-hak orang lain: membayar utang, menunaikan wasiat, membagi harta dengan jelas agar tidak menjadi sengketa. Ini sejalan dengan prinsip keadilan dalam hukum Islam.
Persiapan Menjelang Ajal Menurut Syariat
Alih-alih mencari tanda, Islam mengajarkan persiapan menghadapi kematian secara lahir batin. Persiapan itu meliputi:
- Menunaikan kewajiban ibadah: shalat, zakat, puasa qadha.
- Melunasi utang dan janji: agar tidak menjadi penghalang di akhirat.
- Memperbanyak istighfar dan taubat: memohon ampunan atas dosa-dosa.
- Menyelesaikan masalah keluarga: hak waris, hak anak, hak istri/suami.
- Menulis wasiat: sebagaimana dianjurkan dalam QS. Al-Baqarah:180.
- Memperbanyak dzikir dan shalawat: menenangkan jiwa dan menguatkan iman.
Langkah-langkah ini punya dasar hukum yang jelas dan membawa keberkahan bagi yang melakukannya, sekalipun ajalnya masih lama.
Menghindari Praktik Menyimpang
Yang perlu diwaspadai adalah jika “enam tanda sebelum 100 hari kematian” dijadikan dasar ritual baru yang tidak ada tuntunannya, misalnya mengadakan acara tertentu atau menganggap pasti seseorang akan meninggal pada tanggal tertentu. Ini berpotensi jatuh pada keyakinan yang tidak diajarkan syariat. Ulama menyebutnya sebagai bid‘ah i‘tiqadiyah (keyakinan baru) yang harus dihindari.
Islam mengajarkan keseimbangan: kita boleh mengambil hikmah dari tradisi lokal selama tidak bertentangan dengan prinsip tauhid dan tidak diyakini sebagai ketetapan agama. Tradisi yang memotivasi orang memperbaiki diri menjelang kematian bisa jadi positif, asalkan tidak dianggap sebagai “ilmu pasti” tentang ajal.
Kesimpulan: Siap Kapan Pun Dipanggil
Kematian adalah rahasia Allah. Tidak ada manusia yang bisa memastikan kapan ajalnya datang. “Enam tanda sebelum 100 hari kematian” yang beredar di masyarakat lebih tepat dipandang sebagai nasihat spiritual daripada ketetapan hukum Islam. Ia bisa menjadi momentum introspeksi, bukan alat meramal ajal.
Pandangan hukum Islam tentang kematian jelas: yang utama adalah kesiapan menghadapi ajal kapan pun ia datang. Kesiapan itu ditandai dengan ibadah yang baik, tobat, menunaikan hak-hak orang lain, dan memperbaiki hubungan sosial. Inilah yang akan menyelamatkan kita, bukan sekadar mengetahui tanda-tanda.
Dengan pemahaman ini, kita tidak lagi sibuk mencari tanda-tanda kematian, tetapi fokus mempersiapkan diri untuk husnul khatimah. Sebab, dalam Islam, yang paling mulia bukanlah orang yang tahu kapan ia mati, melainkan orang yang setiap saat siap dipanggil oleh Tuhannya dengan hati bersih dan amal yang diridhai-Nya.