Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Era Digital: Mahasiswa Mau ke Mana

Minggu, 12 Oktober 2025 | 22:57 WIB Last Updated 2025-10-12T15:57:16Z



Zaman telah berubah. Dunia kini berputar lebih cepat daripada langkah manusia yang menapak di atasnya. Segala hal bergerak ke arah digital — mulai dari cara belajar, bekerja, hingga berinteraksi. Namun di tengah derasnya arus teknologi ini, muncul satu pertanyaan penting yang layak direnungkan: mahasiswa mau ke mana?

Pertanyaan ini bukan sekadar sindiran, melainkan panggilan kesadaran. Karena di tengah kemajuan zaman, sebagian mahasiswa justru kehilangan arah. Bukan karena kekurangan akses, melainkan karena terjebak dalam kemudahan yang membuat mereka lupa pada tanggung jawab intelektual dan moral sebagai agen perubahan.


Kemajuan Teknologi, Kemunduran Karakter

Era digital seharusnya menjadi kesempatan emas bagi mahasiswa untuk belajar tanpa batas. Hanya dengan satu sentuhan jari, jutaan sumber ilmu terbuka luas. Namun, kenyataannya, teknologi sering kali digunakan bukan untuk belajar, tapi untuk bersembunyi dalam kesenangan semu.

Scroll media sosial berjam-jam terasa lebih menarik daripada membaca jurnal ilmiah. Memburu followers lebih menggoda daripada menulis gagasan perubahan. Padahal, generasi yang sibuk menatap layar tanpa visi akan mudah dikendalikan oleh arus informasi yang menyesatkan.

Kemajuan teknologi tidak akan berarti jika diiringi dengan kemunduran karakter. Mahasiswa bukan hanya pengguna teknologi, tetapi seharusnya menjadi penentu arah perubahan dalam pemanfaatan teknologi untuk kemaslahatan umat dan bangsa.


Mahasiswa dan Krisis Identitas Intelektual

Mahasiswa sering disebut sebagai “kaum terpelajar”, “agen perubahan”, dan “penjaga nurani rakyat.” Tapi apakah label itu masih relevan hari ini?

Ketika banyak mahasiswa lebih sibuk menata feed Instagram daripada gagasan akademik, ketika ruang diskusi sepi tetapi kafe ramai, kita patut bertanya: di mana peran mahasiswa sebagai pembawa pencerahan sosial?

Di kampus, sebagian hanya berjuang demi gelar, bukan demi ilmu. Di organisasi, sebagian berjuang demi jabatan, bukan demi perjuangan. Di dunia digital, banyak yang pandai berbicara, tapi miskin gagasan. Padahal, sejatinya mahasiswa adalah makhluk berpikir — bukan sekadar pengguna algoritma hiburan.

Krisis ini tidak akan selesai dengan seminar atau lomba wacana. Ia hanya bisa diatasi jika mahasiswa kembali menemukan makna eksistensinya: berpikir kritis, peduli sosial, dan berani menyuarakan kebenaran.


Era Digital: Ruang Baru untuk Berjuang

Namun tidak semua berita buruk. Era digital juga membuka ruang perjuangan baru bagi mahasiswa. Dunia maya bisa menjadi media dakwah, advokasi, dan pendidikan yang luar biasa jika dimanfaatkan secara bijak.

Mahasiswa dapat membangun kanal edukatif, menulis opini di media digital, menggalang solidaritas sosial, hingga menciptakan inovasi startup berbasis kebutuhan masyarakat. Di era ini, gagasan bisa lebih cepat sampai daripada langkah kaki.

Kuncinya satu: niat dan arah. Jika mahasiswa mampu menempatkan teknologi sebagai alat perjuangan, bukan alat hiburan, maka perannya sebagai motor perubahan akan hidup kembali.


Belajar Kritis, Bukan Sekadar Viral

Mahasiswa di era digital tidak boleh terjebak dalam budaya instan dan viralitas semu. Tugas mahasiswa bukan sekadar mengikuti tren, tetapi menciptakan arah baru dari tren itu.

Kritik dan pemikiran tajam tidak boleh hilang, hanya karena takut dibully di media sosial. Sebaliknya, mahasiswa harus menjadi benteng terakhir dari rasionalitas publik, yang mampu menimbang isu dengan logika, bukan emosi massa.

Menjadi mahasiswa hari ini berarti berani berpikir di luar kerumunan. Berani berbeda demi kebenaran. Karena di era digital, suara kritis sering kali tenggelam oleh keramaian kosong — dan di situlah peran mahasiswa dibutuhkan: untuk menjaga kesadaran bangsa agar tetap waras dan berkeadilan.


Kampus sebagai Laboratorium Gagasan

Kampus seharusnya menjadi ruang kebebasan berpikir, tempat mahasiswa ditempa menjadi manusia merdeka — bukan hanya dalam ijazah, tetapi juga dalam cara berpikir.

Sayangnya, banyak kampus kini lebih sibuk dengan administrasi daripada budaya intelektual. Diskusi digantikan oleh seminar formalitas. Kritik dianggap ancaman, bukan bahan refleksi. Jika hal ini terus dibiarkan, kampus hanya akan mencetak lulusan patuh, bukan pemikir berani.

Padahal, bangsa ini butuh mahasiswa yang berani mengubah ketakutan menjadi keberanian, kebingungan menjadi gagasan, dan keluhan menjadi solusi. Dunia digital memberi ruang itu. Tinggal bagaimana kita memanfaatkannya.


Mahasiswa Mau ke Mana?

Pertanyaan ini kembali menggema. Mahasiswa mau ke mana?
Ke dunia maya tanpa arah, atau ke masa depan dengan visi?
Menjadi penonton perubahan, atau pelaku sejarahnya?

Era digital hanyalah alat. Ia bisa menjadi jembatan kemajuan atau jurang kehancuran — tergantung siapa yang menggunakannya.

Mahasiswa harus kembali pada ruh perjuangannya: menjadi penjaga akal sehat, penggerak moral, dan pelopor inovasi. Karena jika mahasiswa diam, maka masa depan bangsa akan kehilangan cahaya.


Era digital bukan alasan untuk kehilangan jati diri. Justru di sinilah mahasiswa diuji: apakah ia tenggelam dalam gelombang teknologi, atau menungganginya menuju perubahan.

Bangkitlah, mahasiswa Indonesia!
Kuasai teknologi, perkuat intelektualitas, dan jadilah pemimpin masa depan yang berpikir dan beraksi.
Karena dunia tidak menunggu mereka yang sibuk bermain,
tetapi bergerak mengikuti mereka yang berpikir dan berbuat.