Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Kemiskinan dan Luka Sosial

Minggu, 05 Oktober 2025 | 23:30 WIB Last Updated 2025-10-05T16:30:41Z



Kehidupan bukan hanya tentang bagaimana kita bahagia, sukses, atau sejahtera. Hidup yang sejati justru diuji ketika kita mampu melihat dan merasakan penderitaan orang lain. Di balik senyum dan kenyamanan yang kita miliki, ada wajah-wajah yang tertunduk karena lapar, ada anak-anak yang menatap masa depan dengan cemas, dan ada orang tua yang berjuang mempertahankan hidup dengan sisa tenaga. Maka, kehidupan bukan hanya soal “kita”, tetapi juga tentang “mereka” — mereka yang miskin, tertinggal, dan sering kali terlupakan dalam hiruk pikuk kemajuan zaman.


1. Di Balik Kaca Kota dan Suara Perut yang Tak Didengar

Setiap hari, kota tumbuh dengan bangunan megah dan lampu-lampu terang. Namun di balik kaca tinggi gedung perkantoran itu, ada suara perut yang menjerit tak terdengar. Mereka yang miskin bukan tidak bekerja, tapi sering kali terjebak dalam sistem yang tidak adil. Tukang becak, buruh harian, pedagang kecil, petani, dan nelayan—mereka semua bekerja keras, namun hasilnya tak sebanding dengan peluh yang mengucur.

Kemiskinan bukan sekadar soal kurangnya uang, tetapi ketidakadilan dalam distribusi kesempatan. Ketika satu kelompok hidup dalam kemewahan, sementara kelompok lain bertahan dalam kekurangan, itu bukan lagi sekadar perbedaan ekonomi — itu adalah ketimpangan moral.

Hidup yang beradab seharusnya tidak membiarkan sebagian manusia hidup dalam penderitaan yang dibiarkan menjadi “biasa”. Sebab, ketika kemiskinan dianggap wajar, maka hati nurani kita telah mati perlahan.


2. Tanggung Jawab Sosial: Ukuran Kemanusiaan

Kita sering bangga dengan pencapaian pribadi — jabatan, rumah, kendaraan, atau popularitas. Namun ukuran sejati dari kemanusiaan bukanlah seberapa banyak yang kita miliki, melainkan seberapa besar kepedulian yang kita berikan.

Rasulullah ﷺ pernah bersabda, “Tidak beriman seseorang di antara kamu hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” Kalimat ini bukan sekadar ajaran moral, tetapi panduan sosial. Bahwa iman dan kemanusiaan tidak bisa dipisahkan dari kepedulian terhadap sesama.

Sayangnya, di zaman ini, empati sering digantikan dengan gengsi. Banyak orang yang lebih peduli pada penampilan di media sosial daripada pada tetangga yang kesulitan makan. Kita sibuk memamerkan gaya hidup, sementara di gang belakang rumah kita ada keluarga yang bertahan hidup dengan nasi dan garam.

Tanggung jawab sosial bukan beban, tapi panggilan hati. Sebab manusia sejati tidak hanya hidup untuk dirinya sendiri. Ia tahu bahwa kebahagiaan yang murni hanya akan lahir ketika orang lain juga merasakannya.


3. Ketika Negara Tidak Lagi Melihat yang Kecil

Dalam teori keadilan, negara hadir untuk melindungi yang lemah. Namun dalam praktiknya, sering kali negara berpihak pada yang kuat. Kebijakan ekonomi dibuat untuk memudahkan pemilik modal, bukan rakyat kecil. Subsidi dicabut atas nama efisiensi, tapi proyek-proyek besar tetap berjalan tanpa rasa malu.

Rakyat miskin seakan menjadi angka dalam statistik, bukan manusia yang punya perasaan dan harapan. Mereka dijadikan alat politik saat pemilu, namun dilupakan begitu suara mereka tidak lagi dibutuhkan.

Padahal, pembangunan yang sejati bukanlah tentang angka pertumbuhan ekonomi, melainkan tentang kesejahteraan manusia secara menyeluruh. Negara yang gagal memihak kaum miskin sejatinya telah kehilangan makna dari kehadirannya sendiri. Sebab negara dibangun bukan untuk memperkaya segelintir elit, tetapi untuk menjamin setiap warga hidup dengan martabat.

Pemimpin yang sejati adalah mereka yang berjalan ke pelosok, melihat sendiri penderitaan rakyatnya, dan berbuat sesuatu untuk mengubahnya. Pemimpin bukanlah orang yang hanya duduk di kursi kekuasaan, tapi yang hatinya duduk bersama rakyat yang lapar.


4. Kemiskinan dan Luka Sosial yang Terlupakan

Kemiskinan tidak hanya menciptakan penderitaan ekonomi, tapi juga luka sosial yang mendalam. Ia melahirkan rasa rendah diri, kehilangan harapan, bahkan kemarahan. Banyak anak putus sekolah bukan karena bodoh, tapi karena tak ada biaya. Banyak orang jujur terpaksa mencuri, bukan karena jahat, tapi karena lapar.

Masyarakat yang membiarkan kesenjangan tumbuh tanpa kendali sedang menanam bom waktu sosial. Ketika orang miskin tidak lagi percaya bahwa keadilan bisa mereka dapatkan melalui sistem, maka mereka akan mencari jalan lain — jalan yang kadang penuh amarah dan keputusasaan.

Kita tidak bisa berharap kedamaian bila masih ada ketidakadilan yang dibiarkan. Kita tidak bisa membicarakan kemajuan bila sebagian rakyat masih berjuang hanya untuk bertahan hidup. Keadilan sosial bukan sekadar cita-cita konstitusi, melainkan kebutuhan moral yang harus diwujudkan oleh setiap pemimpin dan setiap warga.


5. Spirit Kepedulian: Dari Agama ke Tindakan Nyata

Semua agama mengajarkan kepedulian terhadap sesama. Dalam Islam, zakat, infak, dan sedekah bukan sekadar ritual, tetapi instrumen sosial untuk menghapus kesenjangan. Dalam Kristen, kasih terhadap sesama adalah inti ajaran. Dalam Hindu dan Buddha, tolong-menolong menjadi wujud dari cinta universal.

Namun, banyak dari kita berhenti pada level seremonial. Kita memberi, tapi tidak mengerti. Kita berbagi, tapi hanya untuk foto. Padahal, kepedulian sejati bukan sekadar memberi uang, tapi memahami penderitaan orang lain dengan hati.

Kita bisa memulai dari hal kecil: menolong tetangga yang kesulitan, membeli dagangan orang kecil tanpa menawar berlebihan, memberi waktu untuk mendengar keluh kesah mereka yang terpinggirkan. Setiap kebaikan kecil memiliki makna besar bila dilakukan dengan keikhlasan.

Kita tidak bisa menghapus seluruh kemiskinan di dunia, tetapi kita bisa memastikan bahwa di sekitar kita tidak ada orang yang kelaparan tanpa pertolongan.


6. Saat Kaya Menjadi Buta dan Miskin Menjadi Tak Terdengar

Masalah terbesar dunia modern bukanlah kekurangan sumber daya, tetapi berlimpahnya ketidakpedulian. Kita hidup di masa di mana kekayaan berputar di tangan segelintir orang, sementara miliaran manusia lainnya berjuang hanya untuk hidup layak.

Kekayaan seharusnya menjadi jalan berbagi, bukan alat untuk menindas. Namun sering kali, kekuasaan ekonomi justru menciptakan jurang yang makin dalam. Orang kaya semakin sibuk mencari cara agar hartanya aman, sementara orang miskin semakin lelah mencari cara agar bisa bertahan.

Ironinya, semakin tinggi derajat ekonomi seseorang, sering kali semakin tipis empatinya. Mereka hidup dalam pagar tinggi, lupa bahwa di luar sana masih ada orang yang mengetuk pintu berharap secuil nasi.

Kita butuh revolusi hati: dari ego ke empati, dari ambisi ke solidaritas. Sebab yang membuat manusia bernilai bukan banyaknya harta, tetapi luasnya hati.


7. Menjadi Manusia yang Berguna Bagi Sesama

Hidup yang bermakna bukan diukur dari lamanya umur, tetapi dari manfaat yang kita tinggalkan. Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” Inilah esensi kehidupan yang sering dilupakan di zaman modern.

Kita bekerja, belajar, berjuang — semua itu baik, tapi apakah hasilnya hanya untuk diri sendiri? Apakah kemajuan kita membuat orang lain ikut berdaya, atau justru semakin tertinggal?

Menjadi manusia yang berguna tidak selalu berarti menjadi dermawan besar. Cukup dengan berbagi pengetahuan, membuka peluang kerja, atau mengulurkan tangan ketika orang lain jatuh. Dunia tidak akan berubah oleh satu orang kaya, tapi bisa berubah oleh satu orang yang peduli.

Kita tidak hidup sendirian. Ada tanggung jawab sosial yang melekat dalam setiap nikmat yang kita terima. Sebab setiap rezeki adalah titipan — dan di dalamnya ada hak orang lain yang harus kita tunaikan.


8. Hidup Adalah Tentang Kita dan Mereka

Kehidupan yang sejati adalah keseimbangan antara diri dan sesama. Kita tidak bisa hidup bahagia di tengah penderitaan orang lain. Kita tidak bisa merasa aman jika masih ada yang lapar di sekeliling kita.

Hidup bukan soal “aku”, tetapi “kita”. Dan “kita” tidak lengkap tanpa mereka yang miskin, lemah, dan terlupakan. Mereka adalah bagian dari kemanusiaan kita sendiri. Bila kita menutup mata terhadap penderitaan mereka, sesungguhnya kita sedang menutup pintu terhadap rahmat dan berkah dalam hidup ini.

Hidup akan menjadi lebih indah bila dijalani dengan hati yang terbuka. Sebab keberkahan tidak datang dari apa yang kita simpan, tetapi dari apa yang kita berikan.

Maka, mari kita berhenti hidup hanya untuk diri sendiri. Bukalah mata, bukalah hati. Karena hidup bukan tentang seberapa tinggi kita berdiri, tetapi seberapa banyak tangan yang kita angkat untuk menolong mereka yang jatuh.

Hidup bukan soal kita yang punya segalanya, tapi soal bagaimana kita membuat mereka yang tak punya, tetap bisa merasa hidup dengan martabat.


Penulis Azhari