Refleksi tentang waktu, kematian, dan makna hidup yang sering terlupa
Kematian adalah satu-satunya janji yang tidak pernah diingkari. Tidak ada yang bisa menundanya, tidak pula ada yang mampu memajukannya. Ia datang tanpa mengetuk, tanpa memberi aba-aba, tanpa menunggu kesiapan. Namun anehnya, di antara semua kepastian di dunia ini, justru kematianlah yang paling sering kita abaikan.
Kita hidup seakan-akan waktu adalah milik kita, padahal setiap detik yang berlalu adalah pinjaman yang semakin menipis. Kita sibuk berlari mengejar dunia, sementara ajal berjalan pelan tapi pasti mendekat. Seolah hidup ini abadi, padahal setiap napas adalah hitungan mundur menuju liang lahat.
Ketika Kematian Tidak Lagi Jauh
Banyak orang takut membicarakan kematian. Padahal, sadar akan mati justru membuat kita benar-benar hidup. Seseorang yang ingat mati tidak akan menyia-nyiakan waktu. Ia tidak akan menunda kebaikan, tidak akan menyimpan dendam, dan tidak akan menumpuk kesombongan.
Namun sayang, di zaman ini, kematian seolah hanya jadi berita — bukan peringatan. Kita mudah menulis “innalillahi” di media sosial, tapi jarang benar-benar menundukkan hati dan bertanya: “Kalau aku di posisinya, sudah siapkah aku?”
Bukan hanya tentang kain kafan dan liang kubur, tetapi juga tentang warisan amal yang kita tinggalkan. Apakah kita meninggalkan jejak kebaikan, atau justru luka bagi orang lain?
Pesan Kehidupan: Jangan Tunggu Menyesal
Setiap orang yang meninggal pasti ingin kembali, bukan untuk bersenang-senang, tapi untuk memperbaiki. Namun Allah menegaskan dalam Al-Qur’an:
“Hingga apabila datang kematian kepada seseorang di antara mereka, dia berkata: ‘Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku dapat berbuat amal saleh terhadap apa yang telah aku tinggalkan.’ Sekali-kali tidak...” (QS. Al-Mu’minun: 99–100)
Ayat ini bukan ancaman, melainkan pengingat. Bahwa hidup adalah kesempatan yang tidak akan datang dua kali. Selama kita masih bisa membuka mata di pagi hari, masih bisa memohon maaf, menolong sesama, dan bersujud kepada-Nya — itulah anugerah yang tak ternilai.
Maka, sebelum ajal menjemput, berbuatlah baik tanpa menunggu alasan. Berhentilah menunda kebaikan dengan kalimat “nanti”. Karena “nanti” adalah kata yang tidak berlaku di hadapan kematian.
Hidup Bukan Tentang Panjangnya Waktu, Tapi Maknanya
Kita sering iri melihat orang yang panjang umur atau memiliki harta melimpah. Namun, ukuran keberhasilan hidup bukan pada lamanya usia, melainkan seberapa bermanfaatnya waktu yang telah diberikan.
Ada orang yang hidup 30 tahun tapi meninggalkan pengaruh kebaikan untuk seribu tahun. Ada pula yang hidup 80 tahun, namun tak pernah memberi arti bagi siapa pun. Yang pertama hidup dalam keberkahan, yang kedua hanya sekadar lewat dalam sejarah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad)
Pesan itu sederhana, tapi dalam. Bahwa nilai hidup seseorang bukan diukur dari gelar, jabatan, atau kekayaannya, melainkan dari seberapa banyak ia menebarkan kebaikan selama diberi kesempatan hidup.
Sebelum Terlambat, Maafkan dan Minta Maaf
Salah satu penyesalan terbesar manusia menjelang kematian adalah dosa terhadap sesama manusia. Dosa kepada Allah bisa dihapus dengan taubat, tapi dosa kepada manusia harus diselesaikan dengan permintaan maaf.
Maka, selama lidah ini masih bisa mengucap, jangan gengsi untuk berkata “maaf”. Sering kali, bukan karena kita salah, tapi karena kita lebih cinta pada kedamaian. Hidup ini terlalu singkat untuk menyimpan dendam.
Ingatlah, ketika tubuh kita terbujur kaku, semua orang akan memandikan, mengkafani, dan menyalatkan kita. Namun yang mereka doakan bukan harta, bukan gelar, tapi ampunan dan rahmat dari Allah. Maka bersiaplah menjadi orang yang pantas didoakan, bukan disesali kepergiannya.
Waktu yang Tersisa Adalah Kesempatan
Setiap detik hidup adalah anugerah yang tidak boleh disia-siakan. Jika hari ini masih ada kesempatan untuk berbuat baik — lakukanlah.
Jika masih bisa menenangkan hati orang tua — temuilah.
Jika masih bisa menolong teman yang kesulitan — bantulah.
Jika masih bisa beribadah — perbanyaklah.
Karena ketika kematian datang, semua kesempatan itu akan hilang. Tak ada lagi waktu untuk memperbaiki, tak ada lagi hari untuk memohon maaf, tak ada lagi ruang untuk menebus kesalahan.
Hidup ini hanya sebentar, dan setiap orang sedang berjalan menuju akhir yang sama. Maka jangan hidup seakan-akan kita punya waktu tanpa batas.
Pesan Terakhir: Hidup yang Sederhana, Mati yang Mulia
Kematian bukan akhir dari segalanya, tapi awal dari kehidupan yang sebenarnya. Dunia hanyalah tempat singgah — tempat kita menyiapkan bekal menuju rumah abadi.
Bagi yang hidup dengan niat baik, mati bukanlah menakutkan. Ia adalah pintu menuju kedamaian yang dijanjikan.
Maka, jadilah manusia yang ringan langkahnya, yang tidak membawa beban kebencian, iri, dan kesombongan. Hidup dengan sederhana, tapi bermakna. Mati dengan tenang, karena tahu bahwa hidupnya telah dijalani dengan kejujuran dan kebaikan.
Tidak ada yang tahu kapan ajal menjemput. Tapi yang pasti, setiap hari yang kita jalani adalah satu langkah lebih dekat ke sana. Maka, jangan hanya sibuk memperindah jasad, tapi juga perindahlah amal.
Jangan hanya mencari kenikmatan dunia, tapi carilah arti keberkahan di setiap langkah.
Sebab, di hadapan kematian, semua akan luruh — kecuali amal baik, doa anak saleh, dan ilmu yang bermanfaat.
Dan sebelum itu tiba, mari kita hidup dengan kesadaran bahwa setiap napas adalah kesempatan untuk menyiapkan pesan kehidupan yang indah — agar ketika meninggal nanti, dunia tidak hanya kehilangan jasad kita, tapi juga merindukan kebaikan yang pernah kita tinggalkan.
Oleh: Azhari – Penulis reflektif dan pemerhati nilai-nilai spiritual kemanusiaan.