Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Uang Sejuta Berasa Seratus Ribu: Cermin Zaman yang Mencekik

Jumat, 17 Oktober 2025 | 19:22 WIB Last Updated 2025-10-17T12:23:02Z


Oleh Azhari

Makin ke sini, makin kita paham bahwa yang boros bukanlah diri kita, tapi realitas hidup yang kian mahal. Dahulu, dengan sejuta rupiah seseorang bisa belanja bahan pokok seminggu penuh, mengisi bensin, bahkan masih ada sisa untuk jajan anak. Kini, sejuta seolah hanya lewat di tangan: sekali belanja di pasar, satu dua kantong plastik, habis sudah. Kalimat “uang sejuta berasa seratus ribu” bukan lagi keluhan, tapi potret jujur dari kehidupan yang makin menekan rakyat kecil.

Kita hidup di masa ketika nilai uang berlari lebih cepat daripada kenaikan gaji. Harga bahan pokok naik perlahan tapi pasti, seolah disetir oleh kekuatan yang tak kasat mata. Sementara itu, pendapatan masyarakat — terutama di daerah — tetap di angka yang sama. Akibatnya, kita seperti berjalan di eskalator yang bergerak ke bawah: sudah berusaha melangkah maju, tapi tetap terasa mundur.

Bukan hanya soal ekonomi, ini soal rasa aman finansial yang makin hilang. Dahulu, menabung satu juta terasa punya arti; kini, jumlah itu hanya cukup untuk menambal kebutuhan sehari-hari. Banyak keluarga akhirnya hidup dari gaji ke gaji, tanpa ruang untuk menabung apalagi bermimpi. Ironisnya, di sisi lain, gaya hidup digital membuat segala hal tampak mudah dan menggoda: checkout tinggal klik, tapi dompet makin tipis tanpa sadar.

Fenomena ini menunjukkan bahwa “boros” kini tak bisa lagi sekadar diukur dari perilaku individu. Ada sistem dan zaman yang ikut berperan dalam menekan daya beli. Inflasi, biaya pendidikan yang melambung, harga kebutuhan dasar, dan gaya hidup konsumtif yang didorong media sosial — semua berpadu menciptakan tekanan psikologis dan ekonomi. Maka wajar bila banyak orang merasa tidak cukup, bahkan ketika mereka bekerja keras setiap hari.

Namun, di tengah kenyataan pahit ini, ada pelajaran penting. Kita perlu menata ulang cara pandang terhadap uang dan hidup sederhana. Sederhana bukan berarti miskin, tapi bijak dalam menentukan prioritas. Dalam situasi ekonomi seperti sekarang, kecerdasan finansial bukan sekadar kemampuan menghitung uang, tapi kemampuan mengendalikan keinginan.

Ya, zaman ini memang kejam pada yang lemah, tapi juga menuntut kita untuk lebih cerdas. Kalau dulu nasihatnya adalah “hemat pangkal kaya”, kini mungkin harus ditambah: “bijak pangkal selamat”. Karena bukan hanya uang yang makin sedikit nilainya — nilai kesadaran dan perencanaan hidup pun ikut diuji.

Jadi, ketika kita berkata, “bukan aku yang boros, tapi uang sejuta berasa seratus ribu,” sebenarnya kita sedang menyingkap realitas yang lebih dalam: zaman ini telah berubah, dan hanya mereka yang mampu beradaptasi yang bisa bertahan — bukan dengan keluhan, tapi dengan kebijaksanaan.


Penulis Azhari