Aceh bukan sekadar wilayah geografis; Aceh adalah rumah sejarah, tanah harapan, dan tempat lahirnya generasi yang sejak dulu berani berdiri di barisan depan perubahan. Namun hari ini, Aceh kembali menghadapi ancaman yang tak bersuara, namun menghancurkan perlahan: banjir ekologis. Dari Aceh Tamiang hingga Aceh Utara, dari Bireuen hingga Aceh Barat, air bah menjadi tamu tahunan yang merusak rumah rakyat, mematikan perekonomian, dan menghancurkan masa depan anak-anak.
Tapi di tengah kepungan air dan ambruknya kepercayaan kepada para pengambil kebijakan, muncul satu kekuatan besar yang hampir tidak pernah diperhitungkan: generasi muda Aceh.
Mereka bukan sekadar pewaris tanah ini.
Mereka adalah penjaga terakhir—dan harapan pertama—agar Aceh terbebas dari banjir.
Banjir Aceh: Bukan Bencana Alam, Tapi Bencana Pengelolaan
Sebelum melihat peran generasi muda, kita harus jujur soal satu hal: banjir yang melanda Aceh hari ini bukan murni bencana “alam”. Ia adalah bencana kesalahan manusia. Bencana dari:
- hutan yang dibabat tanpa restu nurani,
- sungai yang dijadikan tong sampah,
- tambang ilegal yang merobek perut gunung,
- drainase yang tidak terurus,
- proyek pembangunan yang hanya mengejar dana,
- dan tata kelola lingkungan yang lemah, rapuh, bahkan nyaris tak bertaring.
Generasi muda melihat semua ini.
Mereka tumbuh dalam era yang tak bisa disembunyikan.
Mereka tahu kebenaran.
Dan kebanyakan dari mereka mulai berkata dalam hati:
“Jika bukan kami yang memperbaiki Aceh, maka siapa lagi?”
Generasi Muda: Pewaris Kesalahan yang Tidak Mereka Buat
Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada mewarisi kerusakan yang tidak kita lakukan. Anak muda tidak menebang hutan, tetapi mereka yang kelak menanggung banjir. Mereka tidak mengeluarkan izin tambang, tetapi mereka yang merasakan tanah longsor. Mereka tidak merusak sungai, tetapi mereka yang akan hidup dalam genangan air yang makin tinggi dari tahun ke tahun.
Generasi muda Aceh adalah generasi yang akan bertahan paling lama di tanah ini. Karena itu, mereka adalah kelompok yang paling terdorong untuk menyelamatkan Aceh.
Di sinilah letak kekuatan mereka: motivasi moral yang tidak dimiliki generasi sebelumnya.
Anak Muda: Energi Baru yang Siap Mengubah Aceh
Mengapa generasi muda sangat penting?
1. Mereka lebih sadar lingkungan
Generasi muda Aceh hari ini belajar tentang perubahan iklim, mitigasi bencana, dan pelestarian hutan sejak sekolah dasar. Mereka paham bahwa apa yang terjadi bukan “murka alam”, tetapi reaksi alam atas keserakahan manusia.
2. Mereka mengontrol narasi publik
Dengan media sosial, mereka bisa membuat suara kecil menjadi gelombang besar.
Satu video dapat mengguncang dinas, satu postingan dapat mengubah cara berpikir masyarakat, satu kampanye dapat menumbuhkan gerakan lintas kabupaten.
3. Mereka tidak takut melawan ketidakadilan
Generasi muda hari ini berbeda. Mereka lebih berani menolak, lebih cepat bergerak, dan tidak mudah dibungkam oleh politik.
4. Mereka memiliki ide yang segar
Drainase cerdas, sistem kanal, pemetaan hutan dengan drone, kampanye digital, reboisasi komunitas—semua ini adalah gagasan yang lahir dari anak muda.
Menjaga Aceh dari Hulu ke Hilir
Jika generasi muda ingin Aceh bebas banjir, maka perjuangannya tidak boleh setengah hati. Mereka harus menjaga Aceh dari akar hingga pucuk:
Hulu: Menjaga Hutan, Menjaga Gunung
Tidak ada banjir tanpa kerusakan hulu. Generasi muda harus aktif:
- mengawasi aktivitas ilegal,
- melaporkan pelanggaran lingkungan,
- mendidik masyarakat adat,
- ikut serta dalam reboisasi,
- mengawasi izin tambang.
Tengah: Melindungi Sungai, Menata Kota
Sungai Aceh kini seperti penderita sesak napas akibat sampah dan penyempitan. Generasi muda bisa mengubah budaya buang sampah, mengadakan aksi bersih sungai, dan mengadvokasi pemerintah untuk menormalisasi aliran-air strategis.
Hilir: Edukasi dan perubahan gaya hidup
Perubahan besar dimulai dari tindakan kecil:
- tidak membuang sampah ke selokan,
- memilah sampah,
- menggunakan teknologi ramah lingkungan,
- mendorong desa hijau dan kecamatan tanpa sampah.
Pemuda Adalah Pahlawan Lingkungan Zaman Ini
Sejarah Aceh mengajarkan bahwa pemuda selalu menjadi motor perubahan:
- Pada masa Kesultanan Aceh, banyak panglima muda memimpin pertahanan.
- Pada masa kolonial, pemuda menjadi pembawa pesan perlawanan.
- Pada era konflik, pemuda menjadi penentu arah perjuangan.
Hari ini, tantangannya berbeda: bukan lagi perang fisik, melainkan perang mempertahankan Aceh dari kehancuran ekologis.
Jika pemuda gagal hari ini, maka seluruh Aceh akan menanggung akibatnya di masa depan.
Harapan Terakhir: Generasi Muda yang Tidak Mau Pasrah
Di tengah air bah dan kabar buruk, ada cahaya harapan:
Generasi muda Aceh tidak mau lagi menjadi korban.
Mereka ingin menjadi penjaga.
Mereka ingin Aceh:
- bebas dari banjir,
- hijau kembali,
- aman untuk ditinggali,
- dan layak diwariskan kepada anak cucu.
Mereka bukan hanya berharap, tetapi siap bergerak.
Penutup: Saatnya Pemuda Berdiri Tegak
Aceh butuh generasi muda yang bangkit. Bukan hanya mengkritik, tetapi bertindak. Bukan hanya vokal, tetapi nyata di lapangan. Bukan hanya menunggu perubahan, tetapi menciptakan perubahan itu sendiri.
Mari katakan dengan lantang:
“Generasi muda adalah penjaga Aceh.”
“Banjir bukan takdir, tapi sesuatu yang bisa kita hentikan.”
“Aceh akan selamat jika pemudanya berdiri tegak.”
Jika generasi muda benar-benar bersatu, maka Aceh akan memiliki masa depan yang terang.
Bukan lagi tanah yang setiap hujan berubah menjadi lautan, tetapi tanah yang dihormati karena dijaga oleh generasi yang berani.
Penulis AZHARI