Oleh: Azhari
Di negeri ini, pesta pernikahan bisa semeriah festival. Segalanya dipersiapkan dengan megah: gedung disewa, baju dirancang khusus, makanan berlimpah, foto dan video dokumentasi tak tanggung-tanggung. Namun setelah acara selesai, saat para tamu pulang dan gaun pengantin digantung, kehidupan sesungguhnya baru saja dimulai. Ironisnya, banyak pasangan muda memulai hidup rumah tangga tanpa bekal yang cukup tentang arti menjadi keluarga.
Inilah kritik paling tajam yang patut kita renungkan sebagai orang tua: kita terlalu sibuk menyiapkan anak untuk menikah, tapi lupa mendidik mereka untuk membina keluarga.
Pernikahan Bukan Puncak, Tapi Awal Perjalanan
Banyak yang mengira bahwa menikah adalah tujuan hidup. Anak-anak dibesarkan dengan pesan-pesan yang menekankan pentingnya “menikah cepat”, “jangan lama pacaran”, atau “biar tidak jadi bahan omongan”. Semua tekanan itu datang tanpa bekal ilmu bagaimana hidup bersama pasangan secara dewasa.
Padahal menikah bukanlah tujuan, melainkan awal dari perjalanan panjang yang penuh lika-liku. Pernikahan bukan sekadar akta sah di mata negara dan agama, melainkan perjanjian dua jiwa yang harus saling belajar, menguatkan, dan bertumbuh bersama. Itulah mengapa, sebelum anak menikah, orang tua perlu mengajarkan mereka tentang seni hidup berkeluarga.
Ajarkan Tentang Cinta yang Matang
Cinta bukan sekadar rasa suka atau ketertarikan fisik. Ia tumbuh dan teruji melalui pengorbanan, pemahaman, dan kesabaran. Banyak pasangan muda yang berpisah bukan karena mereka tidak saling cinta, tapi karena mereka tidak memahami bahwa cinta dalam pernikahan menuntut komitmen yang terus diperbarui, bukan hanya rasa yang menggebu di awal.
Ajarkan pada anak bahwa cinta sejati dalam pernikahan adalah cinta yang siap bersusah payah, siap berdamai dalam perbedaan, dan sanggup merawat keutuhan bahkan saat romantisme memudar.
Ajarkan Tentang Komunikasi
Banyak rumah tangga runtuh bukan karena masalah besar, tetapi karena komunikasi yang buruk. Anak-anak perlu tahu bahwa menyampaikan perasaan, mengelola amarah, dan memahami bahasa kasih pasangan adalah keterampilan yang harus diasah. Menyimpan dendam, menyindir, atau diam berkepanjangan justru memperkeruh hubungan.
Keluarga bukan tempat adu ego, melainkan ruang belajar saling memahami. Maka, sebelum menikah, ajarkan anak cara berbicara dengan empati, cara mendengar dengan hati, dan cara menyelesaikan konflik tanpa menyakiti.
Ajarkan Tentang Peran dan Tanggung Jawab
Anak laki-laki perlu tahu bahwa menjadi suami bukan sekadar memberi nafkah, tetapi menjadi pemimpin yang adil, penyayang, dan bertanggung jawab. Anak perempuan perlu tahu bahwa menjadi istri bukan berarti menjadi pelayan, melainkan mitra sejajar yang berhak dihargai dan didengar.
Peran suami dan istri harus dibicarakan dalam bingkai kesetaraan. Ajarkan pada anak bahwa membangun rumah tangga berarti berbagi tugas, berbagi beban, dan bersama-sama merawat mimpi.
Ajarkan Tentang Finansial
Tak sedikit rumah tangga muda yang hancur karena gagal mengatur keuangan. Gaji kecil bukan masalah, yang jadi masalah adalah gaya hidup yang dipaksakan dan komunikasi finansial yang tidak terbuka. Sebelum menikah, anak-anak kita harus paham cara mengelola uang bersama, membuat prioritas, dan membedakan antara kebutuhan dan keinginan.
Ajarkan pada mereka bahwa keberkahan tidak hanya datang dari jumlah, tapi dari cara uang itu diurus dan dibagikan dengan bijak.
Ajarkan Tentang Realita Pernikahan
Anak-anak kita tumbuh dengan tontonan cinta yang romantis. Film, drama Korea, dan media sosial sering menggambarkan rumah tangga sebagai sesuatu yang indah, penuh bunga, dan tanpa konflik. Padahal kenyataannya, rumah tangga adalah ruang di mana dua manusia dengan latar berbeda harus saling menyesuaikan, bertengkar, berdamai, lalu saling menguatkan.
Ajarkan pada mereka bahwa wajar bila suatu hari merasa lelah, kecewa, atau ragu. Yang tidak wajar adalah menyerah tanpa berjuang. Kesiapan mental jauh lebih penting dari kesiapan logistik.
Ajarkan Tentang Spiritualitas dalam Rumah Tangga
Tak kalah penting, ajarkan anak bahwa rumah tangga bukan sekadar urusan duniawi. Ia adalah ibadah panjang. Menjadi suami atau istri adalah amanah spiritual. Saat suami menahan amarahnya, saat istri bersabar dalam kekurangan, keduanya sedang merawat keimanan.
Doa, salat bersama, dan menjadikan rumah sebagai tempat yang tenang bagi jiwa adalah kunci ketahanan jangka panjang. Anak-anak kita perlu paham bahwa rumah tangga yang kokoh bukan hanya karena cinta, tapi karena nilai-nilai ruhani yang mengikat.
Jangan Menyerahkan Semua pada “Takdir”
Seringkali, orang tua menyerahkan segalanya pada “takdir”: “Yang penting nikah dulu, nanti juga akan saling menyesuaikan.” Ini pemikiran yang berbahaya. Takdir tidak akan menolong mereka yang berjalan tanpa arah. Menyesuaikan diri bukan proses instan. Ia butuh bekal ilmu, keteladanan, dan diskusi yang jujur.
Sebelum mereka berlayar, bekali mereka dengan peta. Jangan biarkan anak-anak kita masuk ke dunia pernikahan hanya berbekal rasa cinta, tanpa pemahaman. Sebab banyak yang menikah dengan cinta, tapi gagal mempertahankan rumah tangga karena tak mampu menghadapi realita.
Peran Orang Tua: Antara Menuntun dan Memberi Ruang
Orang tua punya peran penting: menjadi penuntun tanpa menjadi pengatur. Jangan paksakan jodoh, tapi bantu anak mengenali pasangan yang tepat. Jangan terlalu ikut campur, tapi jadilah tempat pulang saat mereka ingin berbagi.
Berikan ruang bagi anak untuk menentukan hidupnya, namun juga hadir saat mereka butuh bimbingan. Anak-anak kita bukan hanya perlu didoakan agar menikah, tapi juga dipersiapkan agar siap membangun keluarga.
Penutup: Bekali, Bukan Sekadar Restui
Hari ini, banyak yang mengejar pernikahan tapi tak siap menjalani peran keluarga. Banyak yang dipaksa menikah cepat tapi tidak diajarkan cara hidup bersama. Inilah tragedi diam-diam dalam budaya kita: pernikahan dirayakan dengan meriah, tapi keluarga dilupakan sejak hari pertama.
Maka, ajarkan anakmu sebelum mereka menikah: bahwa keluarga bukan tentang status, bukan soal gengsi sosial, tapi tentang komitmen harian yang harus dirawat dengan ilmu, kasih, dan doa. Bekali mereka dengan nilai, bukan sekadar restu. Karena masa depan anak-anak kita bukan ditentukan oleh siapa yang mereka nikahi, tapi bagaimana mereka menjalani hidup bersama sebagai keluarga.