Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Menikah Mudah, Mempertahankan Susah: Refleksi Persiapan Menikah

Minggu, 20 April 2025 | 11:55 WIB Last Updated 2025-04-20T04:55:50Z


Di tengah budaya populer yang memuja pesta pernikahan mewah dan kisah cinta ala drama Korea, kita sering lupa bahwa menikah bukanlah puncak kebahagiaan, melainkan awal dari perjuangan baru. Ungkapan lama yang menyebut, “Menikah itu mudah, mempertahankannya yang susah” bukanlah klise kosong, tapi cermin realitas yang teruji oleh waktu.

Pernikahan: Dari Romantisasi ke Realitas

Banyak pasangan muda terjebak dalam romantisasi pernikahan. Mereka membayangkan rumah tangga sebagai taman penuh bunga, tempat berteduh dari segala penat. Padahal, taman itu butuh dirawat setiap hari—disiangi, disiram, dan dijaga dari hama. Tanpa kesadaran ini, pasangan mudah rapuh saat menghadapi badai pertama.

Realitas pernikahan tak melulu tentang senyum pagi dan pelukan malam. Ia tentang cucian yang menumpuk, tagihan listrik yang datang berbarengan dengan tagihan air, perbedaan kebiasaan, hingga fase bosan yang kadang membuat orang bertanya, “Kenapa dulu aku memilih dia?”

Persiapan Menikah: Lebih dari Sekadar Cinta

Cinta memang penting, tapi tak cukup. Pernikahan butuh visi bersama, kesamaan nilai, kesiapan mental, dan kemampuan menyelesaikan konflik. Maka, sebelum melangkah ke pelaminan, pertanyaan-pertanyaan berikut patut direnungkan:

  • Apakah saya siap menjadi pasangan hidup, bukan hanya pasangan cinta?
  • Apakah saya bisa menerima masa lalu dan kekurangan pasangan?
  • Apakah saya bisa tumbuh dan berubah bersama orang yang sama setiap hari?
  • Apakah saya siap berbagi ruang, waktu, uang, dan emosi?

Seringkali, kita lebih sibuk memilih tema pesta dan warna undangan, ketimbang berdialog tentang prinsip hidup, gaya komunikasi, pengelolaan keuangan, hingga cara menyikapi konflik. Akhirnya, ketika realitas datang mengetuk, kita tak punya bekal menghadapi.

Konseling Pranikah: Antara Formalitas dan Kesadaran

Di Indonesia, beberapa lembaga pernikahan mulai mewajibkan konseling pranikah. Tapi masih banyak yang menganggapnya sekadar formalitas administratif. Padahal, inilah ruang paling jujur untuk membuka luka lama, menilai kesiapan emosional, dan menyatukan harapan.

Konseling pranikah seharusnya membongkar ilusi. Bahwa menikah bukan menyatukan dua orang sempurna, tapi dua manusia yang saling belajar, saling menerima, dan saling memperbaiki.

Mempertahankan Pernikahan: Seni Kompromi dan Komunikasi

Pertahanan rumah tangga tidak dibangun dengan cinta saja, tapi dengan komitmen dan komunikasi yang sehat. Banyak pasangan yang gagal bukan karena tidak cinta, tapi karena tidak bisa bicara. Atau terlalu sibuk memendam kecewa hingga lupa bagaimana mengungkapkan dengan sehat.

Komunikasi yang terbuka, jujur, dan empatik adalah kunci. Dan kompromi bukan berarti mengalah terus, tapi mencari jalan tengah yang saling menyejukkan.

Belajar dari yang Bertahan dan yang Gagal

Bukan untuk menghakimi, tapi pengalaman orang lain adalah guru terbaik. Dengarkan cerita pasangan yang berpisah, kenapa mereka menyerah? Apa yang bisa dipelajari dari kegagalan mereka? Juga dengarkan pasangan yang bertahan, meski diterpa gelombang, apa rahasia mereka?

Dari sana kita belajar bahwa mempertahankan pernikahan adalah seni. Ada yang berhasil karena sabar, ada yang bertahan karena prinsip, ada pula yang bubar karena salah memilih sejak awal.

Menikah Bukan Ajang Uji Coba

Di era yang serba instan, komitmen jadi barang langka. Banyak yang menganggap pernikahan sebagai fase coba-coba: “Kalau nggak cocok ya cerai aja.” Padahal, pernikahan menyangkut banyak hal: keluarga besar, masa depan anak, stabilitas mental, bahkan kehormatan pribadi.

Maka perlu ditegaskan: menikah bukan lomba cepat-cepat, bukan juga drama yang bisa di-skip jika bosan. Ia adalah ibadah panjang, tempat seseorang belajar menjadi manusia seutuhnya—yang rela berbagi, menahan diri, dan mencintai dalam keterbatasan.

Penutup: Nikah Itu Perjalanan, Bukan Tujuan

Menikah itu mudah, dalam artian administratif. Tapi mempertahankannya? Butuh ilmu, butuh hati yang luas, dan butuh niat yang kuat. Karena pada akhirnya, pernikahan bukan sekadar tentang dua nama dalam undangan, tapi tentang dua jiwa yang memutuskan untuk tetap tinggal, meski badai datang tanpa aba-aba.

Bagi siapa pun yang sedang mempersiapkan pernikahan, semoga artikel ini menjadi cermin. Bahwa persiapan mental, komunikasi, dan kematangan jauh lebih penting dari pesta semalam. Dan bagi yang sudah menikah, semoga menjadi pengingat: bahwa mempertahankan itu bukan beban, tapi bentuk cinta paling nyata.

Menikah dalam Perspektif Agama dan Data

Dalam ajaran Islam, pernikahan adalah ibadah yang sakral. Rasulullah SAW bersabda, “Pernikahan adalah sunnahku, barang siapa yang membenci sunnahku, dia bukan termasuk golonganku.” (HR. Bukhari). Menikah bukan hanya soal memenuhi kebutuhan fisik, tetapi juga bagian dari ibadah dan tanggung jawab sosial yang besar.

Namun, dalam kenyataannya, angka perceraian semakin meningkat. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Agama, tingkat perceraian di Indonesia terus mengalami kenaikan, dengan faktor utama adalah masalah ekonomi, perbedaan komunikasi, dan pengelolaan konflik yang buruk. Bahkan, di Aceh, angka perceraian mencapai lebih dari 10.000 kasus setiap tahun.

Pernikahan yang sehat tidak hanya bergantung pada cinta, tetapi juga pada kesiapan emosional, keterampilan dalam berkomunikasi, dan kemampuan untuk saling mendukung di setiap fase kehidupan. Oleh karena itu, persiapan pernikahan tidak bisa diserahkan hanya pada hari H, tetapi harus menjadi perjalanan panjang yang dimulai jauh sebelum hari pernikahan dan terus berlanjut setelahnya.


Penulis Azhari