Bangkitnya Peradaban Aceh: Jalan Baru di Tangan Generasi Muda
Oleh: Azhari
Ketika sejarah Aceh disebut, kita bicara tentang masa lalu yang agung. Tapi ketika bicara tentang masa depan Aceh, pertanyaannya berubah: apakah generasi muda siap mengangkat kembali kejayaan itu? Apakah masih tersisa bara semangat di dada mereka, ataukah peradaban ini perlahan padam, tenggelam dalam pragmatisme dan euforia digital?
Aceh hari ini sedang berada di persimpangan. Di satu sisi, ada warisan sejarah luar biasa—kesultanan, syariat, perjuangan, dan semangat keilmuan. Tapi di sisi lain, realitas kita dipenuhi angka kemiskinan, pengangguran, korupsi, dan generasi yang mulai lupa akar budayanya. Ironis memang, negeri yang pernah menjadi pusat Islam di Asia Tenggara, kini kerap disebut hanya dalam laporan konflik, bencana, atau isu-isu ketertinggalan.
Lantas, siapa yang akan membangkitkan peradaban itu? Jawabannya jelas: generasi muda Aceh.
Tidak Cukup dengan Romantisme
Membicarakan kebangkitan Aceh bukan sekadar nostalgia tentang masa lalu. Kita tidak bisa terus menerus hidup dalam bayang-bayang sejarah. Generasi muda Aceh hari ini tidak hanya perlu mengingat, tetapi mewujudkan kembali nilai-nilai besar itu dalam kehidupan nyata.
Kebangkitan peradaban harus dibangun dengan kesadaran, bukan euforia. Ia menuntut kerja kolektif, pembacaan ulang terhadap sejarah, dan keberanian melawan mentalitas instan yang kini merajalela.
Sayangnya, sebagian besar ruang pendidikan, media, dan bahkan kebijakan publik kita tidak memantik api itu. Kurikulum masih miskin muatan lokal. Diskursus publik dipenuhi sensasi. Budaya literasi menurun, sementara semangat konsumtif meningkat. Maka yang lahir bukan generasi penggerak, tapi generasi pengikut.
Apa yang Harus Dilakukan?
Pertama, kita harus membangun ulang kesadaran sejarah dan jati diri pemuda Aceh. Bukan sekadar hafalan nama tokoh, tapi pemahaman mendalam tentang nilai dan semangat yang mereka wariskan. Kita perlu kurikulum lokal, festival sejarah, narasi digital yang membangkitkan harga diri generasi Aceh.
Kedua, mendorong kepemimpinan muda yang berakar pada nilai. Bukan anak muda yang hanya sibuk tampil di baliho, tapi mereka yang membangun komunitas, bergerak dari bawah, dan punya integritas. Aceh butuh lebih banyak pemuda di dayah, di balai desa, di ruang-ruang pengabdian, bukan hanya di ruang kekuasaan.
Ketiga, memperkuat infrastruktur sosial dan spiritual. Dayah harus dikembalikan ke posisinya sebagai pusat peradaban, bukan hanya institusi pendidikan agama. Gampong harus menjadi ruang hidup bagi musyawarah, inovasi, dan solidaritas sosial. Kita tidak bisa menunggu pusat. Peradaban tumbuh dari lokalitas.
Keempat, generasi muda Aceh harus menjadi penguasa teknologi dan narasi digital. Jika sejarah Aceh dahulu dikenal lewat jalur rempah dan samudera, maka hari ini ia harus dikenal di panggung digital dunia. Dari TikTok hingga YouTube, dari e-book hingga film dokumenter—Aceh harus hadir, bukan hanya sebagai objek wisata, tapi sebagai pemilik gagasan dan identitas.
Akhirnya, Ini tentang Cinta
Pada akhirnya, kebangkitan peradaban bukan soal strategi besar, tapi soal cinta yang mendalam pada tanah kelahiran. Tanpa cinta itu, ilmu pun kehilangan arah, politik jadi transaksional, dan agama jadi ritual kosong.
Cinta inilah yang harus dibangkitkan dalam dada generasi muda Aceh. Bahwa mereka bukan hanya pewaris sejarah, tapi pencipta masa depan. Bahwa Aceh tak boleh hanya jadi cerita yang dikenang, tapi peradaban yang diperjuangkan.
Karena jika tidak kita yang membangkitkannya, siapa lagi?