Oleh: Azhari
Dalam lembaran waktu yang terus berjalan, bangsa bukan sekadar kumpulan orang dalam batas wilayah. Bangsa adalah jiwa kolektif yang hidup dari sejarah, tumbuh dalam kehidupan, dan terarah oleh cita. Namun seringkali, bangsa ini tampak seperti seseorang yang lupa namanya sendiri—hidup, tetapi kehilangan makna. Kita merayakan kemerdekaan tanpa memahami penderitaan para pendahulu, kita menggaungkan pembangunan tapi melupakan akar tradisi, dan kita bercakap tentang masa depan tanpa pernah serius belajar dari sejarah.
Sejarah: Bukan Sekadar Masa Lalu
Dalam banyak bangsa besar, sejarah menjadi api penyala semangat. Namun di negeri ini, sejarah justru dipendam dalam lemari arsip, dijadikan mata pelajaran penghafalan, dan dilupakan dalam kebijakan. Kita lebih tahu drama fiktif di layar kaca ketimbang kisah nyata perjuangan bangsa sendiri. Padahal, sejarah bukan hanya masa lalu, ia adalah identitas dan arah.
Ketika kita melupakan sejarah, kita bukan hanya kehilangan masa lalu, tapi juga kehilangan arah tujuan. Karena bangsa tanpa ingatan adalah bangsa yang mudah dipermainkan, diprovokasi, dan diadu domba. Kolonialisme baru bukan lagi datang dari meriam dan senjata, tetapi dari narasi yang menghapus jati diri.
Kehidupan: Antara Rutinitas dan Keterasingan
Hidup dalam sebuah bangsa seharusnya menghadirkan rasa kebersamaan. Tapi hari ini, kehidupan terasa makin individualistik. Kita sibuk mengejar kebutuhan pribadi, tapi abai pada luka sosial. Ketimpangan ekonomi, kerusakan alam, ketidakadilan hukum, dan korupsi adalah jeritan yang sunyi, karena terlalu banyak yang memilih diam.
Di ruang publik, kita terlihat bebas. Tapi di ruang batin, banyak yang merasa hampa. Anak-anak muda kehilangan inspirasi karena tokoh-tokoh besar hanya ada di buku pelajaran, bukan di dunia nyata. Para pemimpin lebih sibuk membangun citra, bukan memberi teladan.
Bangsa: Antara Realita dan Harapan
Menjadi bangsa seharusnya bukan sekadar hidup bersama, tapi tumbuh bersama. Namun hingga kini, bangsa kita masih terjebak pada konflik identitas. Kita masih sibuk mempertentangkan perbedaan, bukannya merayakannya. Kita sering mengangkat semboyan "Bhinneka Tunggal Ika", tapi gagal mempraktikkannya dalam kehidupan sosial, politik, dan hukum.
Lebih menyedihkan lagi, bangsa ini masih ditentukan oleh segelintir elite, bukan oleh suara rakyat banyak. Demokrasi sering kali hanya menjadi pesta lima tahunan yang miskin makna.
Bangkit dari Lupa, Bangkit dari Luka
Kita butuh kebangkitan baru. Bukan revolusi berdarah, tapi revolusi kesadaran. Kita harus kembali membaca sejarah bukan untuk bernostalgia, tapi untuk memahami arah. Kita harus membangun kehidupan bukan hanya dengan beton dan jalan tol, tapi juga dengan cinta dan keadilan sosial.
Bangsa ini tak kekurangan potensi. Yang kurang adalah kemauan untuk saling percaya, saling belajar, dan saling mendengarkan. Jika sejarah adalah guru, maka kehidupan adalah ujian. Dan bangsa adalah hasil dari keduanya.
Kita adalah anak cucu dari para pejuang. Maka jangan biarkan mereka hanya jadi nama di prasasti. Mari jadikan sejarah sebagai pelita, kehidupan sebagai ladang amal, dan bangsa sebagai keluarga besar yang penuh kasih dan harapan.