Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

“Menanti Keberanian dan Kekompakan Bangsa Aceh untuk Merdeka: Sejarah yang Belum Usai”

Senin, 21 April 2025 | 22:20 WIB Last Updated 2025-04-21T15:20:47Z




Oleh: Azhari 

I. Prolog: Bangsa yang Terluka, Tapi Belum Lenyap

Aceh tidak pernah benar-benar kalah. Ia mungkin diam, tapi tak pernah padam. Ia mungkin dibungkam, tapi tidak hilang dari ingatan sejarah. Aceh adalah bangsa yang pernah berdiri megah, mencatatkan diri dalam lembaran diplomasi dunia, dan menjadi simbol perlawanan terhadap penindasan kolonial. Namun hari ini, Aceh adalah luka. Luka yang belum sembuh, luka yang dijaga oleh kenangan dan keinginan yang belum selesai.

Di tengah gedung-gedung pemerintah, proyek-proyek otonomi, dan selebrasi perdamaian, ada satu pertanyaan yang terus menggema di hati banyak orang Aceh: Apakah ini merdeka? Dan jika belum, kapan bangsa ini akan kembali menemukan keberanian dan kekompakannya untuk merdeka—dalam makna yang sejati?


II. Sejarah Aceh: Tidak Pernah Tunduk

Dalam catatan sejarah, Aceh bukanlah bangsa yang lahir dari belaskasihan kolonial. Ia adalah kerajaan Islam yang mengakar kuat, berdiri sebagai pusat peradaban, dan menjalin hubungan diplomatik dengan kekuatan besar dunia seperti Kekhalifahan Turki Utsmani, Inggris, dan Belanda.

Kesultanan Aceh Darussalam bukan hanya simbol kekuasaan, tapi juga simbol kehormatan. Ketika Belanda mencoba menaklukkan Aceh, mereka menghadapi perang terpanjang dalam sejarah kolonial mereka—lebih dari 70 tahun. Bahkan setelah istana dibumihanguskan, semangat rakyat Aceh tetap menyala di gunung-gunung dan hutan-hutan.

Namun kolonialisme tidak hanya datang dengan senjata, tapi juga dengan tipu daya. Snouck Hurgronje, sang orientalis, menyusup ke jantung Aceh. Ia bukan sekadar mata-mata, tapi arsitek pengkhianatan intelektual yang menghancurkan Aceh dari dalam. Sejak saat itu, Aceh bukan hanya kalah secara militer, tapi juga dimanipulasi narasinya.


III. Merdeka yang Dipertaruhkan: Dari Senjata ke Meja Perundingan

Perlawanan Aceh tidak mati. Ia bangkit kembali dalam bentuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dalam dekade penuh darah dan air mata, senjata kembali bicara. Tuntutan untuk merdeka bukan sekadar emosi, tapi cermin dari luka sejarah yang tidak pernah diobati secara adil.

Namun pada 2005, senjata diletakkan. Helsinki menjadi panggung pengalihan strategi. MoU itu membawa harapan—Aceh diberi otonomi khusus, pengelolaan sumber daya, dan ruang politik untuk mengatur diri sendiri. Tapi apakah itu cukup?

Sejak saat itu, Aceh tampak damai secara kasat mata, tapi resah di dalamnya. Banyak pejuang yang berubah menjadi penguasa, dan semangat kolektif digantikan oleh pragmatisme politik. Rakyat bertanya: di mana janji perjuangan dulu?


IV. Kekompakan yang Hilang, Keberanian yang Ditunda

Aceh hari ini kaya sumber daya, tapi miskin visi kolektif. Kekompakan yang dulu menjadi kekuatan kini terbelah dalam sekat partai, kelompok, dan kepentingan pribadi. Bendera perjuangan telah menjadi komoditas politik. Narasi kemerdekaan dikebiri oleh perhitungan elektoral.

Generasi muda Aceh tumbuh dalam kebingungan. Mereka diwarisi sejarah hebat, tapi disuguhi realita yang membosankan: korupsi elite, proyek tanpa arah, dan kehilangan jati diri. Dalam diam, mereka bertanya-tanya: apakah merdeka hanya soal status politik, ataukah soal mental dan martabat?

Aceh tidak butuh banyak orang pintar yang diam. Ia butuh banyak orang berani yang mau berpikir dan bergerak. Tapi keberanian itu kini ditunda. Dan kekompakan itu tampaknya hilang, tenggelam dalam kekuasaan yang memabukkan.


V. Menanti Keberanian Baru

Keberanian hari ini bukan lagi tentang mengangkat senjata. Keberanian hari ini adalah berani mengatakan kebenaran. Berani mengoreksi jalan yang salah. Berani keluar dari zona nyaman politik dan budaya yang stagnan.

Generasi muda Aceh adalah harapan yang belum dibangunkan. Mereka memiliki akses informasi, pendidikan, dan jaringan global. Tapi mereka tidak akan berarti tanpa keberanian moral dan kekompakan visi. Mereka harus kembali pada sejarah bukan untuk terjebak dalam nostalgia, tetapi untuk memahami arah dan identitas.

Aceh butuh keberanian untuk membicarakan ulang arah masa depan. Apakah kita ingin terus terjebak dalam politik transaksional, ataukah kita ingin membangun peradaban baru yang adil, beretika, dan mandiri?


VI. Jalan Merdeka: Bukan Selalu Negara, Tapi Kesadaran

Merdeka tidak selalu berarti memisahkan diri dari negara. Merdeka bisa berarti mandiri dalam ekonomi, berdaulat dalam budaya, dan adil dalam sistem hukum. Aceh tidak harus menjadi negara untuk merasa berdaulat, tapi Aceh harus menjadi bangsa yang sadar dan berani menjaga jati dirinya.

Otonomi yang diberikan belum tentu otonomi yang dijalankan. Banyak hak Aceh yang diatur dalam UUPA dan MoU Helsinki belum sepenuhnya diwujudkan. Maka, perjuangan belum usai.

Membangun Aceh berarti membangun rakyatnya. Memerdekakan pikiran dari ketakutan. Menguatkan ekonomi lokal. Menghidupkan kembali pendidikan berbasis nilai. Dan yang terpenting: menyatukan kembali kekuatan sosial, budaya, dan politik dalam satu tujuan mulia.


VII. Epilog: Bangsa yang Belum Kalah, Asal Tidak Lupa

Aceh bukan daerah. Ia adalah jiwa yang lahir dari sejarah panjang. Ia bukan sekadar provinsi, tetapi bangsa dengan peradaban sendiri. Dan bangsa itu belum kalah—asal tidak lupa.

Lupa sejarah adalah bunuh diri perlahan. Lupa martabat adalah pengkhianatan. Maka selama masih ada yang ingat, masih ada yang berani bicara, dan masih ada yang peduli untuk bersatu, Aceh belum mati.

Pertanyaannya: siapa yang akan memulai keberanian itu? Siapa yang akan memimpin kekompakan itu?

Jangan tunggu gelar. Jangan tunggu jabatan. Mulailah dari kesadaran, dari ruang kecil, dari suara hati yang jujur.

Sebab Aceh tak butuh pemimpin hebat. Ia butuh pemimpin yang jujur, berani, dan cinta.