Oleh: Azhari
Bireuen, daerah yang dulunya dijuluki sebagai Kota Juang, menyimpan kekayaan sejarah dan potensi luar biasa di sektor pendidikan dan pertanian. Namun, di tengah dinamika zaman dan derasnya arus modernisasi, dua sektor ini kini menghadapi tantangan besar, terutama dalam kaitannya dengan peran dan kesiapan generasi muda.
Pendidikan: Fondasi yang Masih Bergulat
Pendidikan di Bireuen telah mengalami perkembangan signifikan dari masa ke masa. Lembaga pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi seperti Universitas Almuslim dan STAIN Teungku Dirundeng telah menjadi tumpuan harapan masyarakat. Namun, masalah mendasar seperti ketimpangan akses pendidikan antara desa dan kota, minimnya sarana dan prasarana, serta kualitas tenaga pengajar yang belum merata, masih menjadi hambatan serius.
Di era digital ini, pendidikan seharusnya tidak hanya mencetak lulusan, tetapi melahirkan pemikir, inovator, dan pelaku perubahan. Sayangnya, sistem pendidikan kita masih cenderung mencetak pencari kerja, bukan pencipta lapangan kerja—terutama di sektor-sektor strategis seperti pertanian.
Pertanian: Ladang yang Ditinggalkan
Bireuen memiliki lahan subur dan potensi pertanian yang luar biasa. Dari padi, jagung, kakao, hingga kelapa, hampir semua jenis tanaman bisa tumbuh di tanah ini. Namun ironisnya, sektor pertanian justru mengalami krisis regenerasi. Generasi muda Bireuen semakin enggan terjun ke dunia tani. Pertanian dianggap kuno, tidak menjanjikan masa depan, dan identik dengan kemiskinan.
Padahal, di tengah ancaman krisis pangan global, pertanian adalah sektor masa depan. Dengan sentuhan teknologi, pertanian bisa menjadi ladang bisnis modern dan sumber ekonomi kreatif. Di sinilah letak tantangan kita: bagaimana membuat pertanian kembali seksi di mata anak muda.
Tantangan Ganda: Mindset dan Sistem
Generasi muda Bireuen menghadapi dua tantangan besar: mindset dan sistem. Pertama, pola pikir mereka telah dibentuk oleh sistem pendidikan dan sosial yang mengglorifikasi kerja kantoran dan merendahkan profesi petani. Kedua, sistem pertanian itu sendiri belum menyediakan ekosistem yang ramah anak muda: akses terhadap modal sulit, minim pelatihan, dan teknologi pertanian masih terbatas.
Jika kondisi ini dibiarkan, maka akan terjadi krisis petani dalam 10–15 tahun ke depan. Sebab petani tua akan terus berkurang, dan tidak ada generasi baru yang melanjutkan.
Apa Solusinya?
-
Revitalisasi Kurikulum Pendidikan
Pendidikan di Bireuen perlu memasukkan konten berbasis agrikultur, kewirausahaan, dan teknologi tepat guna. Sekolah dan kampus harus menjadi laboratorium penggerak inovasi pertanian. -
Insentif untuk Petani Muda
Pemerintah daerah perlu membuat kebijakan afirmatif: misalnya beasiswa khusus bagi anak petani, program pemberdayaan kelompok tani milenial, dan akses mudah terhadap kredit usaha tani. -
Digitalisasi Pertanian
Anak muda melek teknologi. Pertanian harus bertemu dengan digitalisasi: mulai dari drone pemantau lahan, aplikasi prediksi cuaca, hingga pemasaran online hasil panen. Ini akan membuat pertanian lebih menarik dan efisien. -
Kolaborasi Dayah, Kampus, dan Pemerintah
Di Bireuen, kekuatan sosial terbesar ada di dayah dan lembaga pendidikan tinggi. Jika keduanya bisa bersinergi dengan pemerintah dalam mendidik dan mendorong anak muda kembali ke ladang dengan ilmu, maka kebangkitan pertanian bukan sekadar mimpi.
Penutup: Masa Depan di Tangan Petani Muda
Bireuen bisa menjadi model kebangkitan pendidikan berbasis kemandirian dan pertanian. Tapi itu hanya bisa terjadi jika ada kesadaran kolektif, bahwa pertanian bukan pekerjaan kelas dua, dan bahwa masa depan kita tidak ditentukan oleh seberapa hebat kita di kota, tetapi seberapa berdaulat kita atas tanah sendiri.
Kini saatnya generasi muda Bireuen turun ke ladang—bukan dengan cangkul semata, tapi dengan ide, ilmu, dan teknologi.