Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Dapu Bata dan Kepedulian Pemerintah: Ketika Rakyat Harus Memasak Luka Sendiri

Senin, 21 April 2025 | 22:26 WIB Last Updated 2025-04-21T15:26:18Z




Oleh: Azhari 

I. Dapu Bata: Bara Rakyat, Bukan Api Pemerintah

Di tengah krisis yang terus berulang, dari bencana banjir, kemiskinan akut, hingga gejolak sosial, Aceh punya satu warisan ketangguhan yang tak pernah padam: Dapu Bata. Sebuah dapur darurat tradisional, dibangun dari batu bata seadanya, kayu bakar dari kebun, dan semangat gotong royong yang diwarisi turun-temurun.

Dapu Bata bukan sekadar tempat memasak. Ia adalah simbol perlawanan diam-diam rakyat Aceh terhadap kelalaian negara. Ia hadir di pelosok-pelosok desa saat bantuan lambat tiba. Di sinilah masyarakat, khususnya perempuan, menjadi tulang punggung kehidupan. Mereka menanak nasi, menghangatkan harapan, dan membagi luka tanpa keluhan.

Ironisnya, Dapu Bata yang seharusnya menjadi solusi darurat malah menjadi kebutuhan permanen, karena ketidakhadiran sistem negara yang seharusnya hadir lebih awal.


II. Ketika Pemerintah Tak Hadir, Bara Rakyat yang Menyala

Kepedulian sejati bukanlah hadir di depan kamera dengan nasi bungkus, tetapi menyusun sistem yang sigap dan manusiawi. Ketika Dapu Bata kembali muncul di gampong-gampong Aceh yang terendam air, atau di kampung-kampung yang ditinggal penguasa karena tak punya potensi politik, kita harus bertanya: apa sebenarnya peran pemerintah?

Apakah cukup hanya dengan membuat posko bantuan yang hanya ramai di awal lalu menghilang setelah media pergi?
Apakah cukup dengan data bantuan sosial yang sering kali tidak sesuai realita lapangan?

Rakyat Aceh tak butuh janji, mereka butuh kehadiran. Dan dalam kekosongan itulah Dapu Bata menyala: membungkam sunyi dengan nyala solidaritas.


III. Dapu Bata: Cermin Retak dari Sistem Sosial yang Abai

Kembalinya Dapu Bata sebagai solusi darurat menandakan ada yang keliru dalam sistem sosial dan kebijakan darurat kita. Bukankah Aceh telah menerima triliunan rupiah dari Dana Otonomi Khusus? Lalu mengapa rakyat masih harus memasak dengan tungku batu dan sisa beras sumbangan?

Bencana alam bukan satu-satunya sebab. Krisis ekonomi, pengangguran, inflasi harga kebutuhan pokok, dan korupsi struktural juga memaksa rakyat menggali solidaritas mereka sendiri.
Dapu Bata menjadi cermin retak dari negara yang lupa caranya mengasihi.


IV. Dari Seremonial ke Substansi: Pemerintah Harus Belajar dari Dapu Bata

Pemerintah Aceh, baik provinsi maupun kabupaten, harus berhenti memandang Dapu Bata sebagai romantisme sosial. Ia bukan sekadar kisah heroik rakyat kecil, tapi juga peringatan serius atas gagalnya sistem distribusi bantuan yang adil dan cepat.

Sudah saatnya pemerintah meniru prinsip-prinsip Dapu Bata:

  1. Cepat, spontan, tanpa birokrasi.
  2. Berbasis relasi sosial, bukan data palsu.
  3. Mengutamakan kebutuhan, bukan keuntungan.

Belajarlah dari rakyat, dari perempuan-perempuan yang tanpa pelatihan formal mampu memberi makan puluhan orang per hari hanya dengan modal niat dan kebersamaan.


V. Membangun Sistem Sosial Berbasis Kepedulian

Gagasan besar bisa lahir dari tungku sederhana. Dapu Bata bisa menjadi cetak biru untuk pembangunan Pusat Ketahanan Sosial Berbasis Komunitas (PKSBK). Lembaga ini bisa menjadi penghubung antara semangat solidaritas rakyat dan tanggung jawab negara.

Beberapa langkah konkret yang bisa dilakukan pemerintah Aceh:

  • Mendirikan dapur komunitas permanen di desa-desa rawan bencana dan rawan pangan.
  • Melibatkan kader perempuan, tokoh dayah, dan pemuda gampong sebagai relawan sosial terlatih.
  • Menganggarkan dana darurat sosial berbasis partisipatif, bukan top-down.

Dengan begitu, kita tidak lagi menunggu dapur rakyat muncul karena kegagalan negara, melainkan menjadikannya bagian dari kekuatan negara itu sendiri.


VI. Epilog: Jangan Biarkan Rakyat Terus Memasak Luka

Selama rakyat Aceh masih mampu menyalakan tungku di tengah ketidakpastian, masih ada harapan. Tapi jangan biarkan bara itu menyala karena negara abai. Jangan biarkan dapur rakyat menjadi satu-satunya tempat perlindungan di negeri yang konon penuh syariat dan dana khusus.

Kepedulian bukan sekadar empati di media sosial. Ia adalah sistem. Ia adalah keberpihakan. Ia adalah keberanian untuk hadir.
Pemerintah harus membuktikan bahwa mereka tidak tuli terhadap bara yang menyala, bahwa mereka tidak buta terhadap kepedihan yang dimasak setiap hari di Dapu Bata.

Karena jika tidak, sejarah akan mencatat: di Aceh, rakyat memasak sendiri harapan, sementara pemerintah sibuk menyajikan pencitraan.