Perjodohan dan Ketahanan Pernikahan: Antara Budaya, Hukum, dan Realita Zaman
Oleh: Azhari
Dalam kebudayaan kita, pernikahan tak sekadar ikatan cinta dua insan. Ia adalah peristiwa sosial yang sering kali sarat dengan intervensi keluarga besar, adat istiadat, hingga pertimbangan sosial ekonomi. Di tengah dinamika itu, perjodohan masih bertahan sebagai praktik yang dianggap lazim—kadang dianggap suci, kadang justru menjadi sumber luka batin yang dalam.
Praktik perjodohan yang dilakukan orang tua atas nama cinta, restu, atau masa depan yang “lebih baik” sesungguhnya menyimpan persoalan besar jika tidak diiringi pemahaman hukum, hak asasi, dan kesiapan psikologis calon pengantin. Apakah praktik ini masih relevan dalam masyarakat yang semakin terbuka dan individualistik? Dan bagaimana peran hukum dalam memastikan bahwa cinta dan pernikahan tidak menjadi ruang paksaan terselubung?
Tradisi dan Transisi: Antara Restu dan Kontrol
Dalam banyak budaya lokal, termasuk di sejumlah daerah di Indonesia, perjodohan sering dianggap sebagai bentuk kepedulian orang tua. Anak-anak dipertemukan dengan calon pasangan atas dasar pertimbangan yang dianggap “rasional”—latar belakang keluarga, akhlak, bahkan potensi ekonomi. Tidak sedikit pasangan hasil perjodohan yang rumah tangganya awet hingga puluhan tahun.
Namun seiring perubahan zaman, cara pandang generasi muda terhadap cinta dan hidup bersama turut berubah. Mereka tumbuh dalam budaya digital, belajar soal relasi yang setara, dan ingin menjadi subjek atas keputusan besar dalam hidup, termasuk urusan pasangan. Dalam konteks ini, perjodohan bisa berubah makna: dari yang semula bentuk kasih sayang, menjadi bentuk dominasi terhadap pilihan hidup anak.
Mereka yang "terpaksa" menikah demi menjaga nama baik keluarga, demi adat, atau karena tidak enak menolak pilihan orang tua, kerap memulai kehidupan rumah tangga dalam tekanan batin. Apalagi jika proses saling mengenal dijalani secara terburu-buru, komunikasi tidak terbangun, dan ekspektasi dibiarkan mengambang.
Dimensi Hukum: Antara Perjodohan dan Paksaan
Secara hukum, Indonesia menjamin bahwa pernikahan hanya sah apabila dilakukan dengan persetujuan kedua mempelai, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan diperbarui dengan UU No. 16 Tahun 2019. Pasal 6 ayat (1) dengan jelas menyebutkan:
"Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai."
Demikian pula dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), Pasal 16 menyatakan bahwa calon suami dan istri harus hadir secara pribadi dalam akad nikah, dan menyatakan persetujuannya. Bahkan dalam konteks pernikahan anak, Mahkamah Konstitusi telah menegaskan bahwa usia minimum menikah bagi laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun, untuk mencegah praktik perkawinan anak yang sering kali berlangsung dalam situasi perjodohan paksa.
Dengan kata lain, hukum telah mengakui hak individu untuk menentukan sendiri pasangan hidupnya. Namun dalam praktik sosial, suara anak masih sering dikesampingkan. Banyak perempuan muda yang menikah dalam keadaan “terpaksa secara halus” karena tekanan keluarga, ancaman sosial, atau bahkan demi menyelamatkan hubungan bisnis atau kehormatan keluarga.
Pernikahan semacam ini bisa dikategorikan sebagai bentuk kekerasan struktural. Ia mungkin tidak terlihat secara fisik, tetapi menciptakan luka batin yang dalam, dan dalam jangka panjang berpotensi memicu konflik dalam rumah tangga.
Cinta Bisa Tumbuh, Tapi Tidak Bisa Dipaksakan
Pendukung perjodohan sering mengatakan, "Cinta bisa tumbuh setelah menikah." Dalam beberapa kasus, hal itu benar. Namun pernyataan tersebut juga bisa berbahaya jika dijadikan pembenaran atas paksaan atau pengabaian hak anak. Cinta bukan sesuatu yang otomatis tumbuh dalam ikatan yang dibentuk tanpa komunikasi dan kehendak bebas.
Ketahanan rumah tangga tidak bergantung pada restu orang tua semata, tetapi pada kesiapan mental, kecocokan nilai, dan kemampuan menyelesaikan konflik secara dewasa. Bahkan pasangan yang menikah karena saling cinta pun bisa cerai jika tak punya daya tahan dalam menghadapi realitas pernikahan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 mencatat bahwa angka perceraian di Indonesia tetap tinggi. Dalam banyak kasus, alasan utama perceraian adalah ketidakcocokan dan kurangnya komunikasi. Ini menjadi bukti bahwa cinta—apalagi yang dipaksakan—tidak cukup untuk mempertahankan pernikahan. Dibutuhkan proses yang matang sejak awal.
Dalam konteks perjodohan, jika pasangan tidak diberi waktu cukup untuk mengenal, memahami karakter, visi hidup, dan cara menyelesaikan konflik, maka rumah tangga hanya menjadi ruang kompromi tanpa kebahagiaan sejati.
Peran Negara: Edukasi Pranikah dan Konseling Pasca Nikah
Negara perlu memperkuat peran edukasi pranikah sebagai tameng pertama. Bimbingan pranikah yang kini dilakukan oleh Kementerian Agama perlu diperluas cakupannya. Tak cukup hanya membahas fikih dan reproduksi, tetapi juga harus menyentuh aspek psikologi relasi, komunikasi pasangan, kesetaraan gender, dan manajemen konflik.
Lebih dari itu, pemerintah daerah dan tokoh masyarakat harus dilibatkan dalam kampanye hak memilih pasangan. Perlu ditegaskan bahwa orang tua boleh memberi saran, memperkenalkan calon, bahkan mendorong pernikahan, tetapi hak akhir tetap milik anak. Edukasi ini penting untuk memutus mata rantai praktik perjodohan yang mengandung unsur paksaan atau tekanan emosional.
Layanan konseling pasca nikah juga penting. Banyak pasangan muda yang gagap menghadapi realitas rumah tangga karena menikah tanpa kesiapan emosional. Ketika cinta dipaksakan dan konflik muncul, tak ada ruang aman untuk mengadu. Di sinilah negara dan masyarakat harus hadir sebagai penyangga.
Menciptakan Budaya Restu yang Demokratis
Restu orang tua tetap penting. Ia bisa menjadi sumber berkah, penguat relasi, dan penyejuk hati. Namun restu tidak boleh berubah menjadi doktrin mutlak yang membelenggu. Harus dibedakan antara restu sebagai bentuk dukungan dan restu sebagai alat kontrol.
Masyarakat harus mulai membangun budaya restu yang demokratis. Orang tua harus menjadi pendamping, bukan pengendali. Mereka bisa membantu anak mengenali nilai penting dalam memilih pasangan, tapi tetap memberi ruang untuk anak mengambil keputusan. Dialog antargenerasi penting dibangun agar nilai tradisi dan nilai kebebasan bisa bertemu di tengah jalan.
Dalam banyak kasus, perjodohan bisa menjadi jembatan pertemuan dua keluarga dan dua insan, asalkan prosesnya dijalankan dengan partisipatif, transparan, dan tanpa tekanan. Perkenalan yang difasilitasi orang tua tidak otomatis menjadi bentuk paksaan. Justru bisa menjadi bagian dari kearifan lokal yang membantu anak membentuk keputusan dengan pertimbangan yang matang.
Penutup: Pilihan Jodoh adalah Hak Asasi
Pada akhirnya, memilih pasangan hidup adalah hak yang melekat pada setiap manusia. Ia adalah hak asasi yang harus dihormati, bukan ditawar. Negara harus hadir menjamin kebebasan itu, dan masyarakat harus bergerak menyesuaikan diri dengan semangat zaman yang menjunjung tinggi partisipasi dan dialog.
Perjodohan yang dilakukan secara sadar, sukarela, dan saling mengenal bisa menjadi jalan kebaikan. Namun perjodohan yang dipaksakan, didesak secara halus, atau dimanipulasi atas nama adat, adalah bentuk kekerasan tersembunyi. Rumah tangga yang dibangun atas dasar tekanan lebih rentan runtuh daripada yang dibangun atas dasar keinginan bersama.
Di tengah era digital dan keterbukaan, orang tua, negara, dan masyarakat harus bergerak bersama menciptakan ekosistem pernikahan yang sehat, tangguh, dan penuh kesadaran. Karena sejatinya, pernikahan bukan soal mempertahankan adat, tetapi membangun kehidupan yang bermakna—bersama orang yang kita pilih sendiri, dengan penuh cinta dan tanggung jawab.