“Pulang ke Mak Tuan”: Menyelami Akar Tradisi Aceh di Tengah Derasnya Modernitas
Oleh: Azhari
Di tengah segala hiruk-pikuk modernitas, di tengah perdebatan digital dan riuh kota yang tak kenal lelah, ada satu tradisi Aceh yang diam-diam mulai tergerus zaman: tradisi “pulang ke Mak Tuan.” Sebuah ungkapan sederhana namun penuh makna, tentang kembali ke pangkal silsilah, kepada ibu yang menjadi pusat rumah besar, dan kepada kampung halaman yang melahirkan kita.
Mak Tuan bukan hanya sosok perempuan tertua dalam keluarga. Ia adalah simbol. Penjaga pusaka batin, juru kisah sejarah keluarga, dan pemersatu darah yang tercerai oleh jarak dan waktu. Dalam setiap langkah kaki yang pulang ke kampung, dalam setiap meja makan yang penuh saat meugang dan Idul Fitri, di sanalah Mak Tuan hadir—diam, tapi bermakna.
Namun, benarkah tradisi ini masih hidup sebagaimana dahulu?
Tradisi yang Berakar dari Adat dan Adab
Pada masa-masa kejayaan raja dan uleebalang di Aceh, rumah besar (rumoh agam) bukan sekadar tempat tinggal. Ia pusat warisan, tempat musyawarah keluarga, dan benteng nilai-nilai adat. Dalam struktur itu, Mak Tuan menempati posisi penting. Perempuan tidak hanya memelihara rumah, tetapi juga merawat hubungan antargenerasi.
“Pulang ke Mak Tuan” bukan semata ritual tahunan, melainkan perwujudan dari ketaatan pada adat, hormat pada yang tua, dan kesadaran bahwa keluarga adalah pondasi kehidupan. Ia adalah bagian dari sistem sosial meuseuraya, gotong royong, dan peumulia jamee (memuliakan tamu), yang menjadi wajah khas masyarakat Aceh.
Transformasi Sosial: Dari Rumah Adat ke Apartemen Kota
Namun kini, rumah Mak Tuan banyak yang tinggal cerita. Anak-anak merantau dan menetap di kota. Rumah besar dijual demi warisan atau terabaikan karena tak ada yang menempati. Bahkan ada yang lebih nyaman merayakan lebaran di hotel berbintang daripada di rumah neneknya yang sudah tua dan lembab.
Yang lebih mengkhawatirkan, banyak generasi muda yang tak lagi mengenal silsilah keluarganya, apalagi adat yang menyertainya. “Pulang” kini lebih identik dengan postingan media sosial daripada proses penyambungan akar budaya.
Tradisi yang dulunya kental dengan nilai gotong royong dan penghormatan, kini kian menjadi formalitas. Bahkan, ada yang menganggap “pulang ke Mak Tuan” hanya sebagai beban ekonomi atau ajang pamer pencapaian duniawi.
Haruskah Tradisi Ini Dibiarkan Pudar?
Pertanyaan ini layak kita renungkan bersama. Jika satu per satu rumah besar roboh, jika satu per satu Mak Tuan kita wafat tanpa sempat menyampaikan sejarah keluarga, jika satu per satu anak cucu tak lagi mengenal kampung halamannya, maka Aceh bukan saja kehilangan masa lalu—tetapi juga kehilangan masa depan.
Kita bisa membangun kota, gedung megah, dan sistem digital. Tapi tanpa akar budaya, kita ibarat kapal tanpa jangkar. Rapuh, dan mudah terombang-ambing oleh badai globalisasi.
Jalan Pulang Harus Dirawat
Maka, yang harus kita bangun hari ini bukan sekadar infrastruktur jalan dan internet, tetapi jalan pulang secara kultural. Menghidupkan kembali rumah adat, mendata silsilah keluarga, mengajarkan anak cucu tentang pentingnya pulang ke Mak Tuan, dan mengabadikan kisah hidup mereka yang telah menjadi tiang keluarga.
Tradisi ini juga bisa dihidupkan kembali dengan pendekatan baru: menulis memoar keluarga, membuat dokumentasi lisan, bahkan membentuk forum budaya lintas generasi. Jangan sampai Mak Tuan hanya tinggal nama di batu nisan.
Penutup: Aceh dan Peradaban Berbasis Keluarga
Aceh pernah besar bukan karena senjata semata, tetapi karena peradaban keluarga yang kokoh. Di sinilah peran tradisi seperti “pulang ke Mak Tuan” menjadi penting: sebagai fondasi emosi, identitas, dan penghargaan terhadap perempuan yang menjadi pilar rumah tangga.
Di zaman yang membuat orang mudah lupa pada akar, pulang ke Mak Tuan adalah bentuk perlawanan paling halus namun mendalam. Sebuah pengakuan bahwa sejauh apapun kita melangkah, kita tetap anak dari perempuan tua yang menunggu di beranda, dengan kopi panas, senyum sabar, dan doa yang tak pernah putus.