Katanya ini ruang demokrasi,
tempat rakyat bersuara,
tempat suara kecil dan suara besar
harusnya sama nilainya.
Tapi kenyataannya?
Ruang itu penuh wajah pura-pura,
panggungnya dihias janji,
isinya pesta kuasa dan uang rakyat yang digadaikan
di meja-meja rahasia.
Demokrasi?
Namanya saja yang tinggal,
isimu penuh tipu daya,
rakyat cuma ditonton tiap lima tahun,
setelahnya suara kami dikubur
bersama proposal pembangunan yang tak pernah disetujui.
Wakil rakyat?
Sebagian jadi boneka pemodal,
sebagian sibuk cari proyek,
lupa siapa yang dulu mengangkat mereka
dari jalan-jalan kampung
ke kursi empuk di ruang sidang.
Ruang demokrasi kini jadi pasar suara,
yang kaya bisa beli tepuk tangan,
yang miskin cuma boleh menonton
dan berharap tak ditendang keluar
karena terlalu keras bicara soal keadilan.
Wahai negeri,
apa gunanya demokrasi
jika kebenaran dipenjara,
dan suara rakyat diseret jadi alat propaganda?
Kami ingin ruang yang berarti,
tempat suara kami didengar,
bukan sekadar dipakai,
lalu dibuang
seperti sampah kampanye yang berserakan usai pemilu.